- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Statement Down to Earth tentang Pergantian Presiden di Indonesia
London, 31 Juli 2001
"Sekali lagi terbukti bahwa perhatian international hanya terpusat pada kekuasaan politik di Jakarta dan mengabaikan nasib jutaan rakyat miskin yang terampas hak-haknya, khususnya mereka yang tinggal di 'luar Jawa'", ujar Frances Carr dari Down to Earth - lembaga Kampanye Internasional untuk Keadilan Lingkungan di Indonesia.
Pada hari Senin, 23 Juli 2001, pemimpin negara-negara asing dan Bank Dunia menyambut hangat pengangkatan Megawati Sukarnoputri sebagai presiden Indonesia. Namun pertanyaannya adalah: apakah perubahan itu turut merubah nasib 210 juta mayoritas rakyat Indonesia yang tergantung, baik langsung atau pun tidak langsung, pada pengelolaan sumber daya alam dan lahan yang adil dan berkelanjutan?
Krisis ekonomi dan politik jangka panjang masih mencengkram Indonesia. Konflik-konflik sosial terus meningkat yang menyebabkan satu juta orang menjadi pengungsi di dalam negeri dan korban tragedi kemanusiaan yang tak terhitung jumlahnya. Ketersediaan pangan di tingkat lokal merosot. Jumlah kematian balita meningkat. Belum lagi dengan bertambahnya 'generasi yang hilang' dari orangtua yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka. Selain itu, terjadi pula krisis lingkungan. Gejala yang sangat gamblang adalah bencana kebakaran hutan yang merusak dan terjadi setiap tahunnya.
Presiden tersingkir, Abdurrahman Wahid, digambarkan sebagai sosok korup yang tidak memiliki kemampuan sebagai presiden. Namun ini bukanlah akar masalah yang melatarbelakangi masalah-masalah akut dewasa ini. Selama tiga dekade, Suharto dan rejim Orde Baru yang didukung militer melahirkan eksploitasi tinggi yang sistematis dalam merampas kekayaan alam yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM berat. Warisan pemerintahan Suharto adalah beban hutang yang besar, kemiskinan yang meluas dan gejolak sosial.
Mitos 'keajaiban ekonomi' Indonesia selama dekade 1970-an dan 1980-an sesungguhnya merupakan suatu kebijakan yang bersandar pada kekerasan negara. Praktek tersebut dilakukan guna melempangkan jalan perkembangan industri hutan skala besar, perkebunan, pertambangan dan energi. Sementara itu, masyarakat setempat disingkirkan dari lahan mereka dan dihambat aksesnya terhadap hutan, pertanian dan perikanan.
Sekelompok kecil elit berkuasa yang korup - yang juga didukung pemerintahan negara-negara Utara, lembaga donor internasional dan pemodal asing - telah menjadi sangat kaya. Sementara itu, puluhan juta rakyat jelata harus menanggung harga yang dibayar. Masyarakat adat di 'luar Jawa' dan rakyat miskin di wilayah pedesaan di kepulauan Indonesia semakin menderita akibat hilangnya sarana kehidupan dan merosotnya kondisi lingkungan mereka.
Proses reformasi politik, ekonomi dan hukum yang sangat diperlukan baru saja dimulai. Harapan-harapan yang muncul untuk mengikis habis korupsi, kolusi dan nepotisme yang erat dengan rejim lama saat jatuhnya Suharto pada tahun 1998, kini semakin memudar. Demokrasi yang masih labil di Indonesia telah dihancurkan sejak awal kelahirannya oleh sekelompok tertentu di kalangan militer dan pengusaha. Selama tiga tahun terakhir ini, pemerintah lebih disibukkan dengan perkelahian politik tanpa henti. Hasilnya adalah serangkaian keputusan politik jangka pendek yang mengabaikan hutang luar negeri dan dalam negeri Indonesia (jumlahnya diperkirakan lebih dari US $ 250 juta) serta kebutuhan hidup dua pertiga rakyat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan. Jakarta telah mengabaikan nasib rakyat pedesaan dan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan di luar Jawa.
Contoh kasus yang paling menonjol adalah sektor kehutanan. Sekitar 60 juta rakyat Indonesia menggantungkan hidup mereka dari hutan untuk membangun rumah, makanan dan pasokan air. Sementara itu, lebih dari 70% hutan tropis Indonesia telah punah. Sedangkan sisanya, yaitu sekitar 70 juta hektar, kondisinya semakin buruk dan terfragmentasi. Penggundulan hutan setiap tahunnya mencapai 2 hektar. Angka ini adalah angka penggundulan hutan tertinggi di seluruh dunia.
Isu-isu lingkungan, yang tidak pernah muncul sebagai isu utama dalam agenda reformasi, semakin terpuruk saat Wahid berjuang mempertahankan kekuasaannya. Menteri Kehutanan datang dan pergi seiring suksesi penggantian kabinet. Tak ada satu kebijakan kehutanan yang padu. Setiap upaya reformasi sejati disingkirkan pada tahap awal penyusunan rancangan undang-undang kehutanan. Dengan demikian, hanya ada dua hal yang tetap konsisten; pertama adalah peningkatan eksploitasi sumberdaya alam untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kedua, penyingkiran hak-hak dasar masyarakat lokal.
Usulan LSM-LSM Indonesia yang menyerukan moratorium penebangan hutan diabaikan. Raja-raja kayu yang membangun kerajaan bisnis dari keuntungan mengeksploitasi kekayaan hutan Indonesia telah menyatakan diri mereka bangkrut. Sementara itu, pengolahan kayu dan pabrik bubur kertas yang mereka miliki tetap diijinkan menjalankan kegiatannya meskipun mereka telah melanggar hak-hak masyarakat adat serta bersandar pada pada praktek penebangan ilegal. Semua ini dibiarkan demi kewajiban membayar hutang pada kreditor. Tindakan hukum terhadap kasus-kasus pembakaran hutan sebagai upaya membuka lahan yang dilakukan ratusan perusahaan, hanya menghasilkan dua kasus dengan putusan denda. Praktek impunitas semacam ini juga terjadi di sektor-sektor perkebunan, pertambangan dan bisnis besar --termasuk mereka yang beroperasi dengan dukungan pemodal asing.
Megawati, yang menjadi presiden ketiga dalam tiga tahun terakhir, menikmati arus gelombang sentimen nasionalisme berkat peranan yang dilakukan ayahnya sebagai pendiri bangsa Indonesia. Selama 21 bulan, ia telah menjalankan peran sebagai wakil presiden yang sangat tidak efektif. Sekarang ini, politisi-politisi ambisius, tokoh bisnis, dan yang terpokok, kaum militer akan menjadi kekuatan dibalik singgasana kekuasaannya. Jelas sekali, kabinet yang disusunnya adalah pilihan cermat sebagai hadiah bagi para pendukungnya. Termasuk juga multi-milyuner Taufik Kiemas dan kroni Suharto Arifin Panigoro.
Masyarakat sipil dan kelompok HAM menanggung resiko disingkirkan oleh kelompok-kelompok kepentingan ini. Cepatnya pencabutan dukungan politik pemimpin negara-negara kreditor terhadap mantan presiden Wahid dengan serta-merta mengakui presiden baru membangkitkan kecurigaan bahwa demokrasi bukan agenda utama mereka. Kalangan bisnis besar, termasuk perusahaan minyak dan tambang internasional, menyambut hangat kehadiran militer yang akan memberikan keamanan yang lebih baik serta mengurangi masalah perburuhan yang muncul dalam aktivitas perusahaan mereka. Berbagai upaya memajukan tuntutan sah penentuan nasib sendiri bangsa Aceh dan Papua Barat akan menghadapi tekanan berat. Jika militer mendapatkan kekuasaan penuh menjaga negara kesatuan, maka tak sedikitpun ruang tersisa untuk dialog atau resolusi damai.
Faktor besar yang masih belum kita ketahui adalah masalah otonomi daerah. Masalah pengawasan daerah dan pembagian pendapatan yang mulai berlaku sejak Januari tahun ini semakin menambah kekecauan yang ada. Dalam teori, otonomi daerah akan membuka pintu demokrasi dari akar rumput. Dalam praktek, ia hanya memberikan peluang bagi elit-elit lokal mengais-ngais sumber daya yang ada. Pemerintahan daerah telah menentukan putusan sendiri dan mengabaikan ketetapan pemerintah pusat. Dengan demikian, saat pemerintahan tingkat dua dan propinsi bertarung dengan pemerintahan Jakarta untuk mendapatkan wewenang kekuasaan dan pendapatan, maka negara akan berhenti berfungsi. Sekaran ini daerah semakin memiliki kekuasaan yang besar. Nampaknya mereka akan menolak setiap langkah presiden baru menerapkan rencana-rencana pembangunan nasional. Megawati sendiri telah mengkritik undang-undang otonomi daerah yang menghancurkan negara kesatuan. Bagi Megawati, perubahan undang-undang tersebut adalah agenda utama pemerintahannya. Ini merupakan arus balik langkah sementara menuju demokrasi lebih besar di tingkat lokal.
Kenyataan menunjukkan bahwa tak seorang presiden pun yang mampu menawarkan penyelesaian jangka pendek problem besar yang dialami Indonesia, bahkan dalam sistem politik demokrasi yang telah stabil sekalipun. Dibutuhkan waktu beberapa tahun menangani masalah hutang dan defisit budget yang besar. Perbaikan total terhadap sistem kehakiman diperlukan untuk mendorong penghapusan korupsi dan meningkatkan perlindungan HAM. Ini adalah agenda gerakan reformasi liberal yang berjalan di kota-kota besar Indonesia sekarang ini.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu langkah reformasi yang lebih mendasar untuk menjamin masa depan yang berkelanjutan bagi Indonesia. Kuncinya adalan reformasi agraria dan undang-undang sumber daya alam terpadu yang mengakui hak-hak masyarakat lokal. Reformasi ini hanya bisa muncul dari demokrasi sejati dan dialog antara pemerintah dan masyarakat sipil. Sebuah alternatif yang nampaknya tidak menjadi agenda utama sekarang ini.