Tangguh di Papua Barat

Down to Earth Nr 48  Februari 2001

Meningkatnya ketegangan di Papua Barat yang ditandai oleh pembunuhan tahanan politik dan penangkapan terhadap pimpinan pejuang kemerdekaan, tidak menghentikan langkah TNC untuk melanjutkan rencana mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah tersebut.

Ladang gas lepas pantai raksasa Tangguh, yang terletak di pantai Barat Laut, diperkirakan mengandung 20 milyar kubik gas. Gabungan perusahaan Inggris-Amerika, BP/Amoco, merencanakan untuk memulai produksinya pada tahun 2005 dan sedang mengejar kontrak penjualan dengan Cina. BP merencanakan untuk membangun terminal penampungan gas cair di Shenzen, Hong Kong, jika kontrak mereka disetujui. Perusahaan British Gas plc., juga merupakan investor di Tangguh, di mana mereka tengah membangun 2 ladang berdasarkan kontrak pembagian keuntungan bersama Pertamina.

BP juga memiliki saham sebanyak 50 persen di perusahaan tambang batubara terbesar, PT Kaltim Prima Coal di Sangatta, Kalimantan Timur. Tambang tersebut dipaksa untuk ditutup sepanjang sengketa perburuhan tahun lalu (lihat DTE 47). Presiden Wahid telah menjanjikan bahwa proyek tersebut akan memberi keuntungan bagi rakyat Papua Barat dan mengatakan pula bahwa lingkungan sekitar akan dilindungi selama pembangunan proyek tersebut berlangsung.

Pada bulan September tahun lalu, kepala Bapedal daerah, Ali Kastella mengatakan bahwa proyek Tangguh mengancam ribuan hektar hutan rawa di Teluk Berau dan mengatakan bahwa perusahaan tersebut harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat saat merencanakan aktivitas eksplorasi. Pada awal tahun ini, dilaporkan bahwa kantornya telah menyerukan penundaan eksplorasi lanjutan proyek tersebut sebagai akibat analisis dampak lingkungan yang mereka lakukan (lihat DTE 45: 15)

 

Proyek Uji Coba EIA

Mentri Lingkungan Indonesia, Sony Keraf, mengatakan bahwa proyek gas Tangguh akan menjadi satu uji kasus undang-undang baru yang memberikan suara hukum bagi penduduk local dalam setiap proyek pembangunan yang diajukan. Tangguh akan menjadi "proyek percontohan" tentang undang-undang yang berkaitang dengan partisipasi masyrakat dalam penilaian dampak lingkungan yang diharapkan dapat diterapkan pada bulan November tahun lalu. Menurut wakil Keraf, Ali Jumardi, pemerintah daerah melalui Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) akan memfasilitasi dialog antara pihak perusahaan dan masyarakat setempat. Penyelesaian sengketa akan menjadi tanggung jawab "mekanisme baru" yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah yang terpisah.

Sampai sekarang ini, proses EIA sebagian besar diabaikan atau sekedar dipandang sebagai formalitas semata oleh para pengusaha. Selain itu, pemerintah daerah seringkali bertindak sebagai agen-agen pihak perusahaan dan bahkan mengirimkan pasukan keamanan untuk memadamkan perlawanan masyarakat terhadap proyek tersebut. Nampaknya setiap undang-undang atau peraturan yang baru tidak akan memberikan dampak positif bagi masyarakat local apabila tidak disertai pula dengan hak masyarakat local untuk mengeluarkan veto terhadap proyek-proyek di wilayah mereka. (Indonesian Observer21&22/Sep/00; Jakarta Post 12/Jul/00, 9/Dec/00)

 

Pulau-Pulau yang menghilang

Menurut penelitian Lembaga Penelitian Hutan Indonesia (LPHI) di Sumatra, tujuh pulau di Propinsi Riau telah menghilang sejak tahun 1980 akibat degradasi lingkungan.

Sedangkan hutan-hutan rawa yang mengitari tepian pantai dan berfungsi menahan erosi pantai telah dirusak oleh bocoran minyak mentah dari kapal tanker dan penambangan minyak lepas pantai. Terumbu karang pun mengalami kerusakan yang sama.

Salah satu pulau yang punah, Bangkau, dengan luas lebih dari 2000 hektar pernah menjadi tempat yang dihuni oleh 140 keluarga pada tahun 1970. (Detikworld 23/Nov/00)