- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
WISATA BENCANA
Down to Earth No 71 November 2006
Ternyata bencana bisa dijadikan obyek wisata. Itulah yang terjadi disekitar wilayah yang terkena lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Lumpur panas yang menenggelamkan empat desa yakni Desa Siring, Jatirejo, Renokenongo dan Kedungbendo (sekarang bertambah, yaitu: Desa Mindi, Kecamatan Porong, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan, Kecamatan Jabon), ternyata oleh sebagian masyarakat dijadikan sumber mata pencaharian baru bagi masyarakat setempat.
Layaknya tempat wisata, di sepanjang pinggir tanggul di Kecamatan Porong terdapat banyak penjaja makanan dan minuman yang menjual berbagai aneka makanan dan minuman dingin. Mereka memanfaatkan kemacetan jalan dan ramainya pengunjung dari dalam dan luar kota Sidoarjo yang ingin melihat langsung becana tersebut.
Ketika melakukan kunjungan ke wilayah Kecamatan Porong beberapa waktu lalu (31/10), dari jarak dua kilometer sebelum memasuki wilayah porong, asap putih yang keluar dari titik semburan lumpur terlihat jelas. Di kiri jalan (dari arah Sidoarjo - Malang) terlihat rumah-rumah kosong, pohon-pohon kering dan sawah yang terendam lumpur.
Memasuki Kecamatan Porong, kemacetan lalu lintas tak dapat dihindari. Terlihat tinggi tanggul penahan lumpur sudah mencapai sekitar empat meter dan terus ditambah.
Keberadaan tanggul ini sangat berbahaya, mengingat jaraknya kurang dari lima meter dari rel kereta api dan sekitar ± 20 meter dari ruas jalan utama Porong yang menghubungkan Surabaya - Gempol.
Untuk mengamankan jalur kereta api Surabaya - Malang, selain meninggikan jalur rel kereta api dibangun saluran air selebar kurang dari satu meter dengan kedalaman 50 cm.
Terlihat di sekitar tanggul ada bentangan garis polisi dan beberapa anggota polisi yang berjaga-jaga.
Bagi para pengunjung yang ingin melihat langsung lokasi titik semburan lumpur panas, bisa menggunakan jasa ojek yang dikelola sendiri oleh warga desa setempat.
Pengunjung yang datang ketempat ini memiliki beragam kepentingan. Ada yang melakukan penelitian, ada yang ingin melihat tempat kelahiran atau tanah keluarga, tapi kebanyakan dari mereka datang karena ingin tahu dan ingin melihat langsung.
Teriknya matahari dan panasnya udara kota Sidoarjo semakin terasa menyengat ketika berada di sekitar tanggul lumpur. Asap dan hawa panas yang keluar dari kolam lumpur disertai dengan bau busuk belerang dan asap knalpot kendaraan yang terjebak macet, menjadi ciri khas obyek wisata ini.
Menanti atau menolak hujan?
Meski sudah memasuki musim penghujan, belum sekalipun hujan turun di kota Sidoarjo sejak Mei 2006 hingga kini. Hujan menjadi ancaman serius bagi warga Sidoarjo, khususnya mereka yang berada di sekitar lokasi tanggul. Tetapi bagi petani hujan merupakan berkah agar mereka bisa mulai menanam padi di sawah.
Kekeringan saat ini mulai melanda kota Sidoarjo. Di daerah Candi Gelam (sekitar tiga kilometer dari tanggul lumpur Porong) sudah mulai kehabisan air. Banyak warga yang terpaksa membeli air untuk keperluan sehari-hari, seperti mandi, mencuci, dan memasak. Untuk itu mereka harus mengeluarkan uang paling sedikit Rp20.000 per hari. Kalaupun masih ada sumur yang berair, air tersebut terasa lengket, berbau dan berasa asin.
Menurut penuturan salah seorang warga, pernah sekali ada mendung pekat dan hujan rintik-rintik, namun hanya beberapa menit. Awan mendung dan rintik hujan tiba-tiba berlalu dan berganti dengan panas matahari. Desas-desus yang beredar mengatakan bahwa ada pawang-pawang hujan yang ditempatkan untuk menjaga agar tidak terjadi hujan di Sidoarjo.
Meski kekeringan dan kekurangan air, tidak satupun warga Sidoarjo yang berharap akan turunnya hujan. Mereka menyadari, jika hujan turun bencana lumpur panas akan meluap karena kemungkinan besar tanggul penahan lumpur yang saat ini masih terbuat dari tanah tidak akan sanggup menahan lumpur dan air dalam jumlah yang besar. Tanpa hujan pun bencana tersebut belum dapat tertanggulangi hingga kini, apalagi jika hujan turun.
Hujan ibarat buah simalakama. Hujan bisa mengatasi kekeringan tetapi ancamannya tanggul lumpur rusak dan bencana lumpur meluas. Jika hujan tidak datang laju meluasnya bencana lumpur bisa ditahan tetapi ancamannya adalah kekeringan.