- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
59 Detik dalam 5,9 Skala Richter
Down to Earth No 70 Agustus 2006
Masih segar dalam ingatan ketika Sabtu pagi 27 Mei 2006 itu suara gemuruh memenuhi telinga...suara gemuruh itu membawa pikiran saya pada truk sampah yang datang secara rutin ke tempat kami. Tapi "kenapa sepagi ini? (saat itu sekitar jam 05.55 pagi). Dan kenapa suaranya segemuruh ini?", aku bertanya-tanya dalam hati. Belum sempat pertanyaan itu terjawab, detik berikutnya guncangan yang luar biasa dahsyat membuat tubuh terhuyung-huyung ketika melangkah. Saat itulah saya sadar bahwa itu bukan truk sampah. GEMPA!! sayapun segera mengambil langkah seribu keluar rumah sambil mengangkat anakku yang saat itu masih tidur.
Belum pernah saya mengalami guncangan sehebat itu. Rumah seperti diayun-ayunkan kiri kanan tak karuan. Dan kalau sekarang saya ditanya pengalaman apa yang paling mengesankan dalam hidup saya, salah satu jawabannya adalah "59 detik dalam guncangan gempa 5,9 skala Richter".
Efek dari guncangan itu baru saya ketahui betul dari stasiun televisi ketika aliran listrik menyala kembali. Saya tak menyangka kalau guncangan itu ternyata menelan ribuan orang dan ratusan ribu rumah. Laporan resmi WHO menyatakan bahwa 6.487 meninggal, 96.000 orang luka, dan antara 200.000 - 650.000 orang kehilangan tempat tinggal.
Cerita dan wacana tentang gempapun kemudian memenuhi ruang pembicaraan sehari-hari sampai sekarang.
Solidaritas itu...
Rupanya Jogja memang begitu 'eye catching'. Solidaritaspun berdatangan sejak kejadian itu, mulai dari masyarakat sekeliling sampai masyarakat internasional. Masa tanggap darurat selama tiga bulanpun diberlakukan oleh pemerintah.
Sebulan setelah kejadian gempa, Forum Suara (sebuah forum koordinasi organisasi non-pemerintah yang dideklarasikan oleh 26 ORNOP yang bekerja di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah pada tanggal 29 Mei 2006, dua hari setelah gempa melanda kedua wilayah tersebut) mengeluarkan press release perihal penanganan yang sudah dilakukan selama 1 bulan pasca gempa 27 Mei 2006 di DIY dan Jawa Tengah.
PENANGANAN BELUM NYATA, PEMERINTAH HARUS TEGASKAN ARAH REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI
Tiga puluh hari telah berlalu, namun gempa yang telah meluluhlantakkan Yogya dan sebagian Jawa Tengah masih menyisakan ketidakpastian hidup masyarakat yang menjadi korban. Di banyak tempat persediaan logistik pangan semakin menipis dan sebagian besar warga belum mendapatkan haknya atas naungan sementara (terpal, tenda, rapak, dll), sehingga terpaksa tidur beratapkan langit maupun secara bersama-sama tidur di tenda posko. Berdasarkan pantauan Forum SUARA, beberapa wilayah seperti Tegalrejo (Kec. Gedangsari, Gunung Kidul), Terbah, Jonggrong dan Temuwuh (Kec. Patuk, Gunung Kidul), Muntuk, Banjarharjo (Kec. Dlingo, Bantul), Tamanan, Tulasan, Karangploso, Gunung Kelir (Kab. Bantul), Brosot serta beberapa dusun di Kecamatan Lendah (Kulon Progo), bahkan di Kodya Yogya: Semaki, Celeban dan Salakan serta beberapa dusun di Kabuaten Sleman, adalah sebagian kecil dari situs-situs kerusakan yang hingga saat ini masih minim mendapatkan respon dan bantuan.
Mobilisasi solidaritas dan bantuan dari masyarakat dalam dan luar negeri memang luar biasa besar. Malah tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Yogya dan Klaten sejauh ini telah diselamatkan oleh solidaritas masyarakat luas. Namun karena ketiadaan koordinasi dan pengaturan jelas dari pemerintah, bantuan tersebut tersebar tanpa kanal distribusi yang bisa menjamin kemerataan. Bantuan pemerintah yang kemudian diharapkan warga masyarakat akan menjadi jawaban pasti pun ternyata sampai hari ini tak kunjung terwujud. Pemerintah Daerah maupun Pusat nampaknya saling menunggu, dan bahkan terkesan saling lempar tanggung jawab untuk memberikan jaminan hidup dan akses bagi masyarakat korban agar bisa hidup secara bermartabat.
Berkaitan dengan terjadinya gempa-gempa susulan dan berbagai peristiwa alam lain pasca gempa 27 Mei lalu, warga masyarakat pun masih dibiarkan berspekulasi dan mencari jawaban sendiri untuk menyikapi hal itu. Hingga kini, wilayah Imogiri dan Pundong misalnya, saban hari masih terjadi dentuman dan guncangan dari dalam tanah yang mereka tempati. Di Gedangsari, Bukit Linduk terbelah ratusan meter hingga ke perbukitan di seberang Kecamatan Patuk, sehingga memaksa warga masyarakat mengungsi dari wilayah desa yang mereka tempati.
Berbagai kenyataan itu nyata-nyata bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan standar minimum penanganan bencana sebagaimana yang telah diatur dalam International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights Th. 1966, Convenan on the Status of Refugees 1951, dan Protocol Relating to the Status of Refugees 1966, yang menggariskan bahwa Negara berkewajiban untuk memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat bagi warga masyarakat yang terkena bencana. Demikian pula halnya dalam perencanaan. Sementara telah banyak pihak terutama LSM-LSM baik nasional maupun internasional menunggu, namun hingga 1 bulan pasca gempa ini pemerintah belum juga memberikan gambaran mengenai rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang jelas. Belum ada aturan main yang menjadi landasan bagi LSM-LSM tersebut untuk bekerja. Bila terus dibiarkan demikian, belajar dari penanganan bencana di Aceh maupun Nias, maka berbagai dampak sosial, ekonomi, dan budaya yang tidak menguntungkan bukan mustahil akan berulang di Yogya dan Jateng. Oleh karena itu, berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka Forum SUARA mendesak Pemerintah untuk:
- Secepatnya menyusun rencana induk terpadu untuk rehabilitasi dan rekonstruksi DIY dan Jateng dengan mengakomodasi partisipasi dan kearifan lokal masyarakat;
- Memberikan penjelasan yang akurat dan bertanggung jawab, serta melakukan pendidikan mitigasi bencana di wilayah-wilayah yang masih terjadi gempa-gempa susulan, dan di wilayah-wilayah yang mengalami perubahan kondisi lingkungan maupun peristiwa-peristiwa alam lain yang meresahkan masyarakat;
- Menjamin terpenuhinya hak-hak atas kebutuhan pokok warga masyarakat di wilayah bencana terutama daerah-daerah terpencil dan rawan pangan;
- Menjamin terpenuhinya hak-hak atas berbagai kebutuhan kelompok masyarakat rentan: bayi dan anak-anak, lansia, perempuan serta penyandang sakit dan cacat.
Transparansi Anggaran Bencana
Bakornas membuka rekapitulasi dana pusat di surat kabar lokal dan nasional. Ini merupakan satu hal yang positif. Setidaknya, kita bisa mengetahui jumlah dana yang dikelola oleh pemerintah pusat untuk bencana Jogja Jateng ini.
Secara umum, ada dua sumber dana pengelolaan bencana ini, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Non APBN. Dana dari APBN turun dalam dua tahap masing-masing sebesar Rp. 50.000.000. Sementara dana non APBD berasal dari Kedubes China, UNESCAP staff Ass. Bangkok Thailand, Kedubes Indonesia di PhnomPenh Cambodia, Korea Int.Coop., Hongkong Peduli, dan Kedubes Indonesia di Turki. Total dana non APBD ini adalah Rp. 23.539.129.082 (per 22 Juni 2006, Kompas 24 Juni 2006).
Dana-dana itu dipergunakan untuk bantuan lauk-pauk (living cost) dan bantuan operasional. Bantuan lauk-pauk sebesar Rp.90.000,-/jiwa/bulan untuk propinsi DIY (5 kabupaten) diberikan kepada 810.225 jiwa, sedangkan untuk propinsi Jawa Tengah (6 kabupaten) diberikan kepada 441.631 jiwa.
Anggaran dari APBN adalah anggaran yang sewaktu-waktu dapat diambil atas telepon dari wakil presiden (anggaran on call). Rekapitulasi dana itu memungkinkan kita mengetahui dana diluar APBN yang dikelola untuk bencana. Sayangnya, tidak ada penjelasan apakah dana APBN itu dari komitmen utang atau bukan.
Dari rekapitulasi itu bisa kita ketahui juga adanya pengeluaran dana sebesar 4% untuk operasional. Informasi ini mempermudah masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban penggunaan dana-dana itu.
Sementara di tingkat propinsi DIY, ada sekitar 33 milliar dana yang dikelola oleh propinsi DIY dan logistik dalam bentuk makanan dan barang yang harus disalurkan. Pemerintah propinsi mengalokasikan anggaran yang berbeda antara pengelolaan APBD dan dana bantuan untuk gempa. Sampai sekarang, data rekapitulasi penggunaan dana tanggap darurat yang dikelola oleh propinsi belum didapat.
Berkaitan dengan bantuan living cost dari pemerintah, dari laporan Bakornas 30 Juni 2006, diketahui adanya keputusan pemerintah untuk memberikan bantuan living cost sebesar 75% dari total dana pengungsi DIY dan Jawa Tengah. Belum ada kejelasan batas waktu sampai kapan kekurangan 25% bantuan yang diterima warga akan kembali diberikan.
Pemberian bantuan sangat membantu warga yang memang benar-benar membutuhkan. Akan tetapi dari "Temuan Satu Bulan Pasca Gempa" oleh Institute for Development and Economic Analysis (Idea Jogja) berbagai masalah juga terjadi dalam proses pembagian living cost ini. Masalah in terkait dengan akurasi data dasar penentuan sasaran bantuan. Waktu pendataan yang sangat sempit dan format pendataan yang membingungkan mengakibatkan banyak warga yang tidak mendapat living cost karena belum terdata.
Pendataan tidak dilakukan oleh petugas yang seharusnya melakukannya. Ada kecenderungan menyerahkan urusan pendataan kepada masyarakat dengan dalih self assessment.
Pembagi living cost berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lain. Tidak ada petugas dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) yang hadir, padahal Bakornas berharap petugas dari PU dapat melakukan verifikasi kerusakan rumah. Menurut mekanisme yang ada, pembagian living cost dilakukan dari rumah ke rumah, sekaligus untuk verifikasi kerusakan rumah. Akan tetapi, yang terjadi adalah pendataan hanya diserahkan kepada warga dalam bentuk formulir untuk diisi sendiri.
Ada pemahaman yang tidak sama diantara petugas lapangan dalam hal indikator pemberian living cost. Apakah seseorang akan mendapatkan living cost atau tidak menurut Bakornas ditentukan berdasarkan kerusakan rumah. Penentu kerusakan rumah adalah petugas dari PU. Bila kerusakan dibawah 25% atau masih layak huni, seseorang tidak mendapat living cost. Sementara fakta dilapangan mengatakan bahwa penentu kerusakan rumah adalah RT/dusun/desa dan tokoh masyarakat. Meski sudah ada indikator, pemahaman diantara petugas lapangan beragam sehingga mengakibatkan kondisi kerusakan rumah yang sama disatu daerah dengan daerah lain dikategorisasikan berbeda.
Rencana Pembangunan Kembali Daerah Bencana
Masa tanggap darurat yang awalnya direncanakan 3 bulan sudah berakhir pada tanggal 3 Juli 2006. Masa ini maju dari rencana awal karena pemerintah menilai masyarakat yang terkena dampak bencana sudah bisa terangkat ke kehidupan minimal.
Selanjutnya, melalui Keputusan Presiden no. 9/2006, tertanggal 3 Juli 2006 Presiden memutuskan untuk membentuk Tim Koordinasi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah Pasca Gempa di Propinsi DIY dan Jawa Tengah. Tim ini bekerja dibawah gubernur di masing-masing wilayah. Tim ini bertugas:
- Mengkoordinasikan penyusunan kebijakan umum dan strategi dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca gempa bumi di propinsi DIY dan Jateng
- Mengkoordinasikan perumusan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi atas rencana kerja rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca gempa bumi di propinsi DIY dan Jateng
- Menetapkan langkah-langkah strategis untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi wilayah pasca gempa bumi di propinsi DIY dan Jateng
Dalam "Langkah Strategis Pemerintah Kabupaten Bantul Menghadapi Gempa" yang dipresentasikan oleh Kepala Bappeda Kabupaten Bantul pada tanggal 14 Juli 2006, dirumuskan tujuan masa rehabilitasi adalah pemulihan standar pelayanan minimum pada pelayanan publik, pelayanan sosial dasar, prasarana dan sarana dasar, pemulihan fasilitas perekonomian, pembangunan kembali perumahan, dan rehabilitasi mental. Masa rehabilitasi ini diperkirakan sampai bulan ke-12 setelah gempa. Sementara dalam masa rekonstruksi yang diperkirakan sampai dengan bulan ke-24 setelah bencana, pemerintah berencana membangun kembali seluruh sistem yang meliputi sistem ekonomi (produksi, perdagangan, perbankan), sistem transportasi, sistem telekomunikasi, pemulihan sosial dan budaya, dan pemulihan kelembagaan.
Tiga program utama pemerintah dalam proses rehabilitasi adalah: rehabilitasi perumahan dan pemukiman, rehabilitasi sarana dan prasarana publik, dan revitalisasi perekonomian daerah dan masyarakat.
Memiliki rumah adalah hal yang dirasakan oleh masyarakat sangat mendesak dalam masa rehabilitasi ini, untuk menggantikan tenda-tenda mereka. Bulan Oktober mendatang, musim hujan diperkirakan akan mulai. Bila sampai saat itu tiba masyarakat masih tinggal di tenda-tenda, tak bisa terbayangkan bagaimana makin dalamnya penderitaan orang-orang ini.
Untuk mengejar itu, pemerintah kabupaten Bantul berencana membangun sekitar 300 ribu rumah dalam bulan Juli sampai September nanti. Dana yang diperlukan untuk pembangunan itu sebesar 1,2 trilyun rupiah, sementara dana yang ada saat ini hanya sekitar 20-25% dari dana yang dibutuhkan. Bagaimana menutup kekurangan biaya itu, pemerintah sendiri tampaknya masih mencari peluang-peluang yang ada.
Pemerintah berusaha menyosialisasikan konsep rumah tahan gempa agar tidak roboh jika gempa datang lagi. Pemerintah kabupaten Sleman, misalnya, telah membangun 100 unit rumah percontohan berkonsep tahan gempa di kecamatan Prambanan. Pembuatan rumah contoh ini bukan pertama-tama masalah bangunan, tetapi untuk mengembalikan keluarga batih. Kalau keluarga batih sudah berkumpul kembali dan bisa survive, mereka akan bisa menolong diri sendiri.
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga menyosialiasasikan konsep yang sama di masyarakat Pundong, Bantul. Namun hingga kini belum semua masyarakat paham tentang konsep rumah tahan gempa itu. Dalam jajak pendapat Kompas 10 Juli 2006 diungkapkan, 60% responden mengeluhkan bahwa mereka belum memperoleh informasi memadai tentang cara membangun rumah tahan gempa. Di wilayah yang belum tersentuh proyek percontohan rumah tahan gempa, pemerintah umumnya hanya menyebarkan poster atau leaflet yang berisi informasi tentang konsep rumah itu.
Anyaman bambu (gedeg) kini menjadi pilihan utama untuk membangun rumah semi permanen, karena harganya lebih murah dan lebih tahan gempa dibanding material lain. Meski lebih murah, harga-harga itupun tak terjangkau oleh masyarakat banyak karena naiknya harga material yang melambung tinggi akhir-akhir ini. Harga anyaman bambu yang sebelum gempa hanya Rp.10.000 per lembar, kini naik tiga kali lipat. Pasir seukuran truk kecil kini mejadi Rp. 250.000, padahal sebelumnya hanya Rp. 100.000. Batu bata dari harga Rp.150.000 per 1000 bata, kini menjadi Rp. 275.000 per 1000 bata. Belum lagi bahan-bahan bangunan lainnya. Mau menunggu bantuan 10 - 30 juta rupiah yang pernah dijanjikan Wakil Presiden pada hari-hari pertama terjadinya gempa, yang sampai sekarang tidak jelas juntrungnya itu?
Bila anyaman bambu kini manjadi 'primadona', permintaan anyaman bambu menjadi sangat tinggi, jangan-jangan telah terjadi eksploitasi habis-habisan terhadap rumpun-rumpun bambu di wilayah-wilayah sekitar DIY dan Jawa Tengah.
****
Oleh: Ima Susilowati