- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Aksi Massa Melawan PT. Inco
Down to Earth No 67 November 2005
Oleh YL Franky, AMAN
Masyarakat adat korban tambang dan buruh PT. Inco di Sorowako, bersama mahasiswa dan Organisasi Non Pemerintah (Ornop) yang tergabung dalam Forum Solidaritas Masyarakat Korban Tambang (FSMT), selama empat hari berturut-turut di bulan September (15 - 19, Sept 2005), menduduki Kantor Regional PT. Inco di JL. Penghibur, Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Sebelumnya, hari Senin (12 Sept) FSMT melakukan aksi di Kantor DPRD Propinsi Sulawesi Selatan dan hasilnya akan mempertemukan FSMT dengan PT. Inco pada hari Kamis (15 Sept), namun DPRD tidak berhasil memanggil manager PT. Inco. Ratusan massa FSMT yang kecewa dengan DPRD kemudian melangsungkan aksi konvoi menuju kantor Regional PT. Inco. Massa menduduki dengan menginap di kantor PT. Inco, dalam aksi tersebut dilakukan pula mogok makan oleh dua orang dari massa FSMT, yakni Yuliana (70 thn) perempuan korban penggusuran dan Yusran mahasiswa UNM, hari kelima massa aksi dibubarkan dengan evakuasi paksa oleh aparat kepolisian.
FSMT menuntut PT. Inco memenuhi hak-hak rakyat dengan mengganti rugi tanah milik warga pemilik tanah di Petea dan masyarakat adat Karonsie Dongi yang sudah dikelola PT. Inco, menuntut pembangunan pemukiman bagi masyarakat Karonsie Dongi dan mengakui hak milik wilayah adat masyarakat Karonsie Dongi yang sekarang sedang diduduki dan dikelola, serta mempekerjakan kembali buruh yang telah di PHK paksa oleh PT. Inco.
Pihak PT Inco yang diwakili oleh Edi Suhardi (Direktur Regional External Relation PT Inco Tbk), Koordinator Government Relation (Idham Kurniawan), dan H. Latief. Serta hadir pula Kapolresta Makassar Barat, melakukan pertemuan bersama wakil masyarakat di Rumah Makan Caesar, Jumat malam (16 Sept). Pertemuan berlangsung tanpa hasil karena Pihak PT Inco tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat. PT Inco berpendapat kasus tanah di Petea akan diserahkan penyelesaiannya kepada Tim 5 yang telah dibentuk sebelumnya oleh Pemda Luwu Timur. Untuk lahan masyarakat Karonsi’e Dongi akan dievaluasi oleh pihak PT Inco serta akan dibicarakan secara internal di PT Inco Tbk. Untuk PHK, PT Inco menyerahkan sespenuhnya sesuai jalur hukum.
Aksi-aksi massa dan protes terbuka sudah sering berlangsung sejak tahun 1980 an hingga kini. Untuk bulan Januari sampai September tahun 2005, terjadi aksi protes sebanyak tujuh kali dengan waktu yang berbeda-beda, mencakup: kasus buruh, issu tenaga kerja lokal, ganti rugi tanah dan tuntutan pengakuan hak-hak atas tanah masyarakat adat. Intensitas aksi terbanyak terjadi dalam konflik tanah antara masyarakat adat Karonsie Dongi dengan PT. Inco dan pemerintah, hingga sekarang sekitar 70 Kepala Keluarga masyarakat Karonsie Dongi masih bertahan melakukan pendudukan, berkebun dan membangun pondok di areal Lapangan Golf PT. Inco, yang di klaim sebagai wilayah tanah adat mereka. Aksi-aksi ini belum termasuk yang dilakukan warga Desa One Pute Jaya dan Orang Bungku di daerah ekspansi baru PT. Inco di Sulawesi Tengah.
Meluasnya aksi massa karena ketidak puasan atas mekanisme penyelesaian sengketa hukum formal yang tidak adil dan aparat penegak hukum tidak mampu menegakkan hukum, buntunya jalur informal dan dialog yang tidak berimbang, massa diperhadapkan cara-cara represif, teror dan brutal melibatkan aparat keamanan dan preman bayaran, kecenderungan kebijakan dan penyelenggaraan hukum berada dibawah kendali pemilik modal sehingga kasus-kasus semakin menumpuk dan berlarut-larut.
Relevansi kekuatan modal mengintervensi proses dan pengesahan kebijakan, nampak pada kebijakan pemerintahan Megawati yang membolehkan pertambangan di Hutan Lindung melalui Perpu No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 14 tentang Kehutanan, yang kemudian menjadi UU No. 19 tahun 2004. Pemerintah tidak berdaya dalam kendali perusahaan pertambangan, dengan dalih ketidak pastian hukum berusaha dan ancaman arbitrase serta merta merubah kekuatan hukum dan komitmen perlindungan hutan. Dalam hal ini pemerintah telah melanggar hukum. Demikian pula yang terjadi dengan lembaga legislatif DPR RI dan keputusan gugatan Judicial Review UU No. 19 tahun 2004 di Mahkamah Konstitusi (MK), lembaga yang menjadi benteng pertahanan hukum rakyat tidak mampu melakukan koreksi dan perubahan kebijakan berdasarkan aspirasi masyarakat dengan mempertimbangkan kondisi objektif dan dampak kegiatan pertambangan bagi rakyat, melainkan penuh argumentasi subjektif dan kompromi, menyusul disinyalir adanya ‘suap’ dalam tubuh legislatif. MK mengakui bahwa secara objektif alasan pemohon benar akan dampak negatif yang timbul dari kegiatan pertambangan. Tetapi MK memilih untuk mempercayai pemerintah dalam mengambil kebijakan yang bertujuan untuk melindungi perjanjian dengan investor asing di bidang pertambangan. (Hendri Kuok dalam Kolom Opini, Kompas, 8/8/ 2005).
Akumulasi dampak dari ketidak pastian perlindungan hukum, kemiskinan, aksi-aksi brutal dan sebagainya, menimbulkan keresahan sosial dan ketidak percayaan pada pemerintah. Hal ini bisa menjadi "bom waktu" yang sewaktu-waktu dapat meledak menjadi konflik sosial yang dapat mengorbankan dan merugikan semua pihak.
Pelanggaran Hukum Terus Berlangsung
PT. Inco sedang mengerjakan pembangunan PLTA Karebe untuk meningkatkan kapasitas pembangkit listrik menjadi 360 MW, nilai investasi USD 280 juta yang bersumber dari dana utang dan internal Inco. Proyek mercusuar ini ternyata bermasalah karena belum memiliki dua perizinan penting, yaitu izin prinsip dari Pemkab Lutim dan izin pelepasan kawasan hutan lindung dari pemerintah pusat.
Polisi setempat masih memeriksa pelaksana proyek PT. Thiess Contractor Indonesia (TCI) yang mengaku tidak mau tahu menahu terkait dengan perambahan hutan lindung tanpa izin pelepasan kawasan dari pemerintah pusat dan izin prinsip Pemkab Lutim, untuk pekerjaan land clearing PLTA Karebbe. (www.fajar.co.id/news.php?newsid=9328).
Hal ini menimbulkan tanggapan miring dan keresahan dari masyarakat, jelas-jelas PT, Inco melanggar prosedur hukum dan tidak adanya analisis dampak lingkungan sebagai akibat pembukaan hutan lindung. Masyarakat khawatir akan terjadinya banjir yang lebih hebat dari sebelumnya yang merusak sumber kehidupan masyarakat.
Jauh hari sebelumnya, Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan sudah memberikan himbauan kepada masyarakat di wilayah ini agar wasapada dengan ancaman bencana banjir bandang yang akan memakan korban manusia sebagai akibat kasus penebangan hutan tidak bisa dikendalikan. Gubernur merasa prihatin dengan kerusakan hutan yang terjadi di Sorowako, Luwu Timur. Dan kalau betul di Inco tingkat kerusakan hutan sudah demikian parah, maka pihak Inco akan diberikan teguran. Pemerintah akan mendesak pihak Inco untuk mengembalikan hutan tersebut seperti kondisi semula. (Berita TVRI, 21 Nop 2003).
Dugaan pelanggaran hukum lainnya terkait dengan keterlibatan PT. Inco dalam aktivitas ilegal yakni penyelundupan batu bara yang berasal dari Tana Grogot, Kalimantan Timur. Pada tanggal 10 Nopember 2004 lalu, Polres Luwu Utara berhasil menangkap Kapal Motor (KM) Osanik Star, yang memuat sekitar 3.000 ton batubara tanpa dokumen resmi, di perairan laut Malili, Kabupaten Luwu Timur. Nilai batubara itu mencapai Rp1,3 miliar yang menjadi kerugian negara.
Dari pemeriksaan sementara polisi, kapal tersebut akan berlabuh di pelabuhan Balantang. Sedangkan muatan batubara disebutkan sebagai pesanan PT Inco. Kapolres menduga, penyelundupan batubara dari Kalimantan ke Malili untuk disuplai ke industri nikel dan industri lainnya di Sorowako, sudah berlangsung lama. Herson Mangonta, nahkoda kapal ini di depan penyidik menyatakan, pihaknya sudah 10 kali masuk ke Malili memuat batubara tak berdokumen, seluruhnya batubara pesanan Inco. (www.fajar.co.id/news.php?newsid=1270)
Tambahan Info: Aksi Protes Melawan Inco Tahun 1980 Ketika Inco membangun PLTA Larona, 95 keluarga yang bermukim di tepi danau Matano meminta ganti rugi kepada Inco yang diteruskan ke pengadilan Ujung Pandang. Masyarakat menuntut ganti rugi tanah Rp. 750 juta. Masalahnya kemudian diselesaikan diluar pengadilan, Inco bersedia membayar sejumlah ganti rugi dan memindahkan mesjid ke dataran yang lebih tinggi. Tahun 1998 Tahun 1999 Februaru 1999 3 April 2000 Protes ini dipicu oleh kebijakan perusahaan yang memindahkan salah seorang warga lokal yang baru diterima bekerja di Inco dipindahkan ke bagian lain secara sepihak. Saat keberatan disampaikan kepada pihak manajemen, pengawas pertambangan tadi malah berkeras dan menyuruh warga tersebut keluar jika tidak bersedia menerima penempatannya di bagian penghijauan. Ini merupakan pelecehan terhadap masyarakat asli dan sekaligus menunjukkan sikap arogan perusahaan. Oktober 2002 6 Agustus 2004 1. Pengaspalan Jalan. 2. Pemadatan lokasi pemukiman. 3. Penggantian material bangunan dengan material yang standar. 28 Jan 2005 Pengunjuk rasa memprotes dan menuntut kepada direksi PT Inco mencabut kebijakan PHK dan protes terhadap direksi Inco yang melibatkan aparat kepolisian setempat, untuk menjemput para karyawan yang di-PHK di tempat kerjanya, lalu dibawa ke rumah masing-masing. Sumber: www.fajar.co.id/news.php?newsid=2504 31 Maret 2005 21 Juli 2005 Massa aksi turut menyampaikan simpati dan dukungan kepada masyarakat korban penggusuran lokasi Petea. 8 Agustus 2005 FNPBI menilai PHK terhadap ratusan karyawan itu sebagai tindakan sepihak oleh PT Inco, karena 303 karyawan yang mendapatkan PHK sampai saat ini belum menerima ganti rugi berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan biaya transportasi. Kalau dikalkulasi besarnya biaya yang harus ditanggung PT Inco mencapai Rp2 miliar. 12 September 2005 Dalam dialog sempat pula dikemukakan anggota DPRD tentang kesulitan posisi pemerintah dan DPRD dalam menghadapi ancaman arbitrase oleh PT. Inco. 15 September 2005 FSMT menuntut Inco memenuhi ganti rugi dan mengembalikan hak-hak masyarakat adat Karonsie Dongi dan buruh. Setelah dari DPRD Sulsel, masyarakat melanjutkan aksinya dengan mendatangi kantor PT Inco di Jl Penghibur, Makassar dan menduduki menginap di kantor Inco. Aksi pendudukan ini berlangsung berturut-turut 4 hari (15 Sept - 19 Sept 2005). Pada tanggal 17 September, dua orang dari massa FSMT, yakni Yuliana (70 thn) perempuan korban penggusuran dan Yusran mahasiswa UNM, melakukan aksi mogok makan hingga massa aksi dievakuasi paksa oleh aparat kepolisian. Pihak PT Inco yang diwakili oleh Edi Suhardi (Direktur Regional External Relation PT Inco Tbk), Koordinator Government Relation (Idham Kurniawan), dan H. Latief. Serta hadir pula Kapolresta Makassar Barat, melakukan pertemuan bersama wakil masyarakat di Rumah Makan Caesar, hasilnya terjadi deadlock karena Pihak PT Inco tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat. PT Inco berpendapat kasus tanah di Petea akan diserahkan penyelesaiannya kepada Tim 5 yang telah dibentuk sebelumnya oleh Pemda Luwu Timur. Untuk lahan masyarakat Karonsi’e Dongi akan dievaluasi oleh pihak PT Inco serta akan dibicarakan secara internal di PT Inco Tbk. Untuk PHK, PT Inco menyerahkan sespenuhnya sesuai jalur hukum. 28 Sept 2005
24 Sept 2004 29 April 2005
Awal Oktober 2002 24 Oktober 2002 Maret 2003 15 Mei 2003 23 Mei 2003 24 Mei 2003 3 Juli 2003 14 Juli 2003 17 Juli 2003 17 Maret 2004 23 Maret 2004 22 Mei 2004 23 Mei 2004 |