DNPI mengumumkan angka potensi pengurangan emisi CO2

Down to Earth No.83, Desember 2009

Di bulan Agustus, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) mengumumkan hasil draf penelitian termasuk serangkaian perkiraan dari pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan membandingkannya dengan skenario ‘beraktivitas seperti biasa (business as usual).’

Siaran pers DNPI menyatakan bahwa analisis sumber-sumber emisi dan potensi untuk penurunan emisi di enam sektor diambil dari pendapat lebih dari 150 ahli dari kalangan pemerintahan, sektor swasta dan para non-pemerintah, dibagi menjadi kelompok kerja sektoral. [1]

Draf studi – yang ditargetkan selesai pada akhir tahun ini – memperkirakan emisi CO2e[2] tahunan pada 2005 adalah 2,3 Gigaton (1Gt = 1 miliar ton). Dikatakan emisi akan naik menjadi 2% per tahun, mencapai 2,8 GT pada 2020 dan 3,6 GT pada 2030 jika perubahan tidak dilakukan untuk mengurangi emisi.

Meski demikian, angka dasar DNPI 2,3 GT cenderung di bawah perkiraan. Bank Dunia dan Studi DFID pada tahun 2007memperkirakan emisi tahunan dari hutan dan alih fungsi lahan saja sudah sebesar 2,6 Gt CO2e, berdasarkan angka-angka dari tahun 2000. Total perkiraan untuk Indonesia adalah 3 Gt.[3]

Draf DNPI menyebutkan proyeksi emisi Indonesia bisa dikurangi hingga 2,3 Gt pada 2030 (atau, dengan kata lain, masih mempertahankan tingkat perkiraan pada 2005), dengan menerapkan lebih dari 150 langkah-langkah untuk mengurangi emisi dalam sektor pengemisi utama GRK. Lebih dari 80% emisi adalah dari sektor hutan, lahan gambut dan pertanian.[4]

Temuan dalam daftar laporan berdasarkan sektor adalah sebagai berikut:

Hutan: Sektor ini (tidak termasuk rawa gambut dan rawa hutan) menyumbang 850 MtCO2e, atau 38% dari keseluruhan emisi Indonesia, disebabkan oleh penggundulan hutan (562 MtCO2e), degradasi hutan (211 MtCO2e) dan kebakaran hutan (77 MtCO2e).

Jika tingkat deforestasi dan degradasi hutan saat ini sebesar 0,8 juta hektare/tahun dan 1 juta ha/th terus berlanjut, maka emisi akan tetap 850 MtCO2e hingga 2030.

Sektor ini dapat mengurangi emisi 1.100 MtCO2e, dengan mengurangi deforestasi dan mencegah degradasi lebih lanjut (menghemat 850 MtCO2e) sementara penghijauan dan aforestasi dapat menyumbang lagi 250 MtCO2e pengurangan emisi. Hasilnya adalah perubahan hutan dari sumber emisi menjadi penyimpan karbon yang penting.

Gambut: Tingkat emisi pada tahun 2005 adalah 1,0 GtCO2e, atau 45% dari total emisi Indonesia, dari oksidasi melalui pengeringan rawa gambut dan dari oksidasi karena kebakaran (0,77 Gt) ditambah penggundulan dan degradasi hutan (0,25 Gt) dari hutan rawa gambut. Emisi dari gambut akan naik menjadi 20%, mencapai 1,2 Gt pada 2030, jika konversi lahan (mis. untuk perkebunan kelapa sawit) berlanjut dan kerentanan akan kebakaran hutan meningkat akibat degradasi hutan dan kekeringan.

Potensi pengurangan dari sektor ini adalah 700 MtCO2e, termasuk:

  • pencegahan dari penebangan dan degradasi hutan seluas 300.000 hektare, menghemat emisi sebesar 250 MtCO2e, yang jika tidak dilakukan pencegahan akan terjadi pelepasn emisi karena hilangnya biomassa di permukaan tanah;
  • restorasi 5 juta hektare rawa gambut non komersial (melalui peng-air-an kembali dan penghijauan), menghasilkan pengurangan emisi 360MtCO2e. Pengurangan lebih lanjut dapat dibuat dengan meningkatkan pengairan dan manajemen kebakaran pada pertanian yang sudah ada dan lahan hutan industri untuk bubur kayu.

Pertanian: tingkat emisi tahun 2005 dari sektor ini (tidak termasuk rawa gambut) adalah 139 MtCO2e, di mana sawah adalah penyumbang terbesar (51,4MtCO2e) terutama karena metana (CH4). Pada tahun 2030 emisi diperkirakan akan mencapai 152 MtCO2e, melalui peningkatan peternakan dan pertanian skala besar.

Potensi penurunan emisi dapat mencapai 105 MtCO2e, di mana kemungkinan terbesar dihasilkan dari  peningkatan pengelolaan air dan nutrisi untuk lahan sawah dan pemulihan lahan pertanian yang terdegradasi.

Listrik: Emisi dari sektor ini diperkirakan sebesar 110 MtCO2e pada tahun 2005, lebih dari 75% daripadanya disebabkan oleh batubara. Emisi ini akan meningkat tujuh kali lipat mencapai 750 MtCO2e pada tahun 2030, didorong oleh meningkatnya permintaan akan listrik (listrik akan menjangkau 100% desa pada tahun 2030, dibandingkan dengan cakupan 60% saat ini),  dan meningkatnya ketergantungan terhadap batubara sebagai pembangkit listrik.

Peluang untuk mengurangi emisi sebesar 220 MtCO2e antara lain berasal dari lebih banyaknya sumber-sumber energi bersih dan terbarukan (166 MtCO2e) dan penggunaan teknologi ‘batubara bersih’ (6.1MtCO2e).

Transportasi: tingkat emisi tahun 2005  dari sektor ini diperkirakan 70 MtCO2e, dan akan mencapai 500 MtCO2e pada tahun 2030, didorong oleh peningkatan volume kendaraan komersial dan pribadi (dari 115 kendaraan per 1.000 orang, menjadi 312 per 1.000 pada tahun 2030)

Pengurangan emisi tidak langsung memiliki potensi untuk mencapai 100 MtCO2e melalui dua langkah utama mitigasi: meningkatkan penggunaan mesin pembakaran internal dalam semua kelas kendaraan (75 MtCO2e) dan peralihan ke mobil listrik dan hibrida (15 MtCO2e).

Bangunan: Emisi langsung dari bangunan diperkirakan meningkat dua kali lipat dari 20 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 40 Mt pada 2030, didorong oleh peningkatan konsumsi energi komersial dan perumahan. Ini bisa dikurangi menjadi 47 Mt pada tahun 2030, melalui langkah-langkah seperti pemanas air alternatif (8,8 Mt), penerangan dengan konsumsi energi yang efisien  (11,3 Mt) dan lebih banyak peralatan listrik yang efisien energi (9,3 Mt).

Semen: Dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat dalam 20 tahun ke depan, emisi Indonesia dari semen akan meningkat lebih dari tiga kali lipat dari 20 MtCO2e menjadi 70 MtCO2e, sebagian besar disebabkan oleh penggunaan klinker dalam produksi semen. Hal ini dapat dikurangi 12 Mt dengan menggantikan klinker dengan terak. Energi alternatif (mis. dari pengolahan limbah industri atau perkotaan dapat mengurangi lagi emisi sebesar 3,4 Mt).

Tanda-tanda Bahaya

Angka-angka dalam draf laporan DNPI menyoroti fakta bahwa sebagian besar emisi gas rumah kaca Indonesia adalah dari perusakan hutan dan lahan gambut. Kerusakan hutan adalah akibat yang tragis dari kebijakan dalam negeri, didorong dan didukung oleh permintaan dari pasar internasional dan investor, dan telah menjadi bahan kampanye masyarakat sipil selama bertahun-tahun,  dan baru belakangan ini saja dibingkai sebagai keadilan iklim.

Sejumlah upaya penurunan emisi yang disebutkan di atas akan memicu tanda bahaya, yang dapat menjadi kontra-produktif, serta memiliki potensi untuk meminggirkan dan memiskinkan banyak masyarakat adat dan penduduk desa. Ini termasuk, penghijauan dan aforestasi, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (skema REDD) dan restorasi rawa gambut, ‘batubara bersih’[5] dan pemulihan lahan pertanian. Jika upaya yang dilakukan untuk mengimplementasikan rencana adalah dengan cara terpusat dari atas ke bawah, tanpa mengakui hak-hak masyarakat adat untuk mengelola lahan mereka dan memastikan adanya persetujuan diawal tanpa paksaan atas setiap rencana yang dapat mempengaruhi mereka, artinya Indonesia tidak belajar dari kegagalan di masa lalu dan kecil kemungkinan akan ada kemajuan dalam pengurangan emisi.

Catatan:

1 Siaran pers 27/Agt/09


2 CO2e = setara emisi karbon dioksida, sebuah standar yang digunakan untuk mengukur semua gas rumah kaca.


3 Lihat DTE 74 dan siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/Environment/ClimateChange_Full_EN.pdf

4 Lembar Fakta - Kurva Biaya Pengurangan Emisi GRK (Gas Rumah Kaca) Indonesia, DNPI  [tidak bertanggal] di d.yimg.com/kq/groups/6058336/2097845044/name/27Aug2009+DNPI+Lembaran+Fakta+Cost+Curve.pdf


5 Banyak ornop memandang ‘batubara bersih’ sebagai sebuah mitos yang didukung oleh negara-negara yang bergantung pada batubara yang bermaksud menghindari penutupan sektor batubara mereka – lihat catatan CCS di DTE80/81.