- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Kawasan
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Investasi Asing dan Otonomi Daerah
Down to Earth Nr 46 Agustus 2000
Pemerintahan Wahid lebih mementingkan kepentingan perusahaan multinasional daripada manajemen sumber daya alam yang berkesinambungan dan berlandaskan kepentingan rakyat.
Segera setelah mengambil alih pemerintahan, presiden Abdurrahman Wahid memberi komitmen sepenuhnya pada perusahaan asing dan menyatakan akan memberikan kemudahan bagi para penanam modal. Hal ini menunjukkan Gus Dur memandang investasi asing sebagai sebuah elemen yang penting bagi perbaikan ekonomi Indonesia. Pada permulaan tahun ini presiden Wahid melakukan perjalanan keliling ke ibukota negara-negara Eropa untuk menarik penanam modal asing agar menggunakan kesempatan yang diberikan Indonesia. Ia menitikberatkan pada kepastian hukum bidang pertambangan dan kontrak-kontrak lainnya yang ditandatangani pada masa Soeharto serta menawarkan perlindungan militer kepada perusahaan pertambangan yang pengoperasiannya ditentang oleh masyarakat setempat.
Usaha ini dikritik karena meneruskan pendekatan kepentingan bisnis pada masa rejim Soeharto serta meningkatkan kemungkinanan bertambahnya pelanggaran hak asasi manusia serta konflik atas sumber-sumber daya.
Penitikberatan pada usaha mendorong modal asing yang memberikan prioritas lebih terhadap penggunaan sumber daya daripada perlindungan lingkungan dan hak rakyat atas sumber alam ditambah dengan 'insentif eksploitasi' yang mengharuskan daerah otonomi berdiri sendiri secara ekonomis.
Namun demikian, sejauh ini para penanam modal tidak terkesan melihat cara-cara dalam memenuhi kebutuhan mereka dalam proses otonomi daerah. Mereka masih terus berusaha menjauh dari kekacauan perekonomian dan ketidakstabilan politik Indonesia yang menakutkan. Diantara para pengusaha pertambangan ada kekuatiran kalau kontrak-kontrak yang ditandatangani dengan pemerintah propinsi atau pemerintah daerah akan kurang kuat dan kurang memberi kepastian. Mereka juga kuatir kalau mereka akan mengalami kesulitan mencari dana dalam menjalankan proyek-proyek mereka. (Jakarta Post 15/May/00)
Pemungutan Pajak Sendiri
Pemodal yang ada sekarang juga gelisah dengan adanya perebutan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penarikan pajak dan retribusi. Walaupun presiden Wahid sudah berjanji bahwa kontrak-kontrak yang sudah berjalan tidak akan mengalami perubahan, namun pemerintah daerah sudah mulai memungut pajak atas para perusahaan, sebagai langkah awal untuk mengamankan pendapatan atas sumber daya yang keuntungannya sampai sekarang terakumulasi diantara para koruptor elit Jakarta.
Pencarian dana sendiri yang dilakukan oleh pemerintah tingkat propinsi dan daerah sudah dimulai sejak tahun 1999, ketika pemerintah daerah mulai menuntut bagian mereka atas pendapatan masa lalu yang tidak pernah dikirim dari Jakarta. Pada Bulan November 1999 anggota DPRD Sulawesi Selatan menuntut agar pemerintah pusat membayar enam milyar rupiah atas royalti yang belum dibayar dari PT Inco Nickel Mine. Pemerintah pusat dituduh oleh pemerintah daerah, yang baru dan tegas, telah menunda pembayaran dan mengambil hak atas royalti lebih dari seharusnya, dan membiarkan daerah produksi tetap miskin dan tidak berkembang.
Pemerintah daerah, yang bosan menunggu pemerintah pusat melakukan pembayaran, kemudian mulai memungut pajak baru atas perusahaan yang beroperasi di daerah mereka untuk membuktikan bahwa daerah mereka secara ekonomi dapat berdiri sendiri. Sampai bulan Juni tahun ini, praktek ini telah begitu meluas sehingga Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid menyampaikan keluhan atas dampaknya terhadap iklim investasi Indonesia. Ia melaporkan bahwa Singapura telah menambah beberapa propinsi dan daerah di Indonesia ke dalam daftar investasi negatif sehingga paling sedikit 13 perusahaan minyak asing menghentikan operasinya di Indonesia karena retribusi yang dipungut oleh pejabat daerah. ''Kami menghimbau para gubernur dan kepala wilayah untuk menghentikan praktek tersebut karena hal tersebut akan menambah beban para perusahaan'' katanya. (Jakarta Post 20/June/00)
Newmont
Kasus tarik urat otonomi daerah yang paling mendapatkan perhatian publik adalah pertambangan emas Newmont Minahasa Raya di Sulawesi Utara. Perusahaan tambang, yang 80% dimiliki oleh Newmont dari Amerika, mendapat perintah dari pengadilan setempat untuk menutup usahanya karena menolak membayar pajak atas batu buangan dari hasil penggalian di penambangan. Keputusan ini diperkuat oleh pengadilan propinsi namun dibatalkan oleh Mahkamah Agung di Jakarta. Perusahaan tersebut akhirnya setuju untuk membayar pajak antara 400.000USD dan 500.000USD setelah pemerintah daerah setuju untuk menarik tuntutannya. Hasil akhirnya adalah kompromi agar baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat jangan sampai kehilangan muka.
Kasus ini juga menunjukkan bahwa prioritas pemerintah daerah --dan pengadilan setempat -- adalah untuk menghasilkan uang : LSM dan rakyat setempat menuduh perusahaan telah menyebabkan polusi di perairan pantai Tanjung Buyat di dekat pertambangan namun pertombangan ini tidak masuk dalam gugatan pemerintah daerah.
Operasi Newmont lainnya, Newmont NTT, yang beroperasi di pertambangan tembaga raksasa di Batu Hijau di Pulau Sumbawa, mengambil tindakan aktif ke pengadilan setempat sebagai usaha untuk menghindari terulangnya perselisihan atas masalah pajak. Mereka secara bulanan menerbitkan jumlah pajak yang telah dibayarkan ke pemerintah pusat supaya pemerintah daerah dapat meminta bagian yang merupakan haknya. Perusahaan tersebut juga mencoba mengambil hati penduduk setempat atas kuota lapangan kerja dan polusi lingkungan, yang disebabkan oleh kebocoran pipa pembuangan pada Bulan November lalu, dengan mengalokasikan jutaan dollar Amerika Serikat untuk pengembangan masyarakat setempat (lihat berita kawat Dow Jones 3/juli/00). Operasi di Sumbawa juga menggunakan sistim pipa pembuangan bawah laut sama seperti perusahaan pertambangan emas di Sulawesi Utara - sebuah praktek yang dianggap melanggar hukum di negara-negara Eropa dan Amerika Utara (lihat DTE 35).
Salah satu perusahaan Amerika yang merupakan pembayar pajak terbesar di Indonesia, Freeport MacMoran. juga mendapat tekanan untuk meningkatkan pengalihan keuntungan yang lebih banyak untuk kepentingan penduduk setempat. Permintaan tersebut datang dari pemerintah Indonesia, terlepas dari kenyataan bahwa Freeport, yang sebagian dari sahamnya dimiliki perusahaan pertambangan Inggris Rio Tinto, menandatangani kontrak pada masa pemerintahan Soeharto, dan dengan demikian, menurut presiden Wahid, tidak perlu melakukan perubahan. Tapi Freeport juga mendapat kecaman atas hubungan dekatnya dengan klik Soeharto dan kegagalan - sesuai dengan surat keputusan yang ditandatangani mantan presiden - dalam meyerahkan sahamnya kepada Indonesia sesuai dengan yang disetujui bersama dalam kontrak (lihat DTE 45).
Iklim investasi bagi perusahaan asing - serta penanam modal dalam negeri - hampir pasti berbeda di setiap daerah bila langkah-langkah desentralisasi dilaksanakan. Beberapa LSM mengkuatirkan bahwa masing-masing pemerintah daerah akan melakukan perjanjian dengan perusahaan asing, dengan semakin kurang memperhatikan masalah lingkungan dan sosial daripada yang terjadi sekarang. Bila kendali demokrasi setempat dan peraturan tidak ada, maka pengaruhnya terhadap masyarakat dan sumber daya alam akan lebih buruk jika dibanding dengan pelaksanaan kontrak yang tetap dipegang oleh pemerintah pusat.