- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Kawasan
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Konferensi perempuan dan pertambangan
Down to Earth Nr 63 November 2004
MENUNTUT KEADILAN BAGI PEREMPUAN
Pertambangan mempunyai pengaruh yang merusak dan mengganggu keseimbangan bagi perempuan, termasuk perempuan adat dan perempuan pekerja tambang. Pertambangan menimbulkan masalah sosial dan lingkungan yang serius, menciptakan kemiskinan dan senantiasa tidak menghargai budaya setempat serta hak-hak hukum adat. Inilah kesimpulan dari Konferensi ke-3 Jaringan Internasional Perempuan dan Pertambangan, yang diadakan di Visakhapatnam, India, pada bulan Oktober 2004.
Konferensi itu melahirkan 6 resolusi, menuntut hak dan meminta tindakan nyata pemerintah, perusahaan dan lembaga keuangan.
- Resolusi tersebut meliputi:
- Perempuan dan masyarakat adat;
- Perempuan dan komunitas lokal;
- Pekerja tambang perempuan;
- Tambang yang diterlantarkan dan penutupan tambang;
- Pertambangan, kesehatan, lingkungan dan perempuan, serta
- Konflik, hak asasi manusia dan perempuan.
Resolusi tentang masyarakat adat dan perempuan mengakui dan menghormati tuntutan masyarakat adat atas moratorium atau pelarangan atas proyek pertambangan baru dan perluasan tambang yang telah ada yang bisa memberi dampak terhadap penduduk asli dan masyarakat adat hingga semua hak asasi manusia telah diperhatikan dan dihormati serta dijamin pemenuhannya. Mereka menuntut pengakuan atas hak kolektif masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri, dan hak-hak mereka atas tanah mereka dan sumber-sumber alam dan menuntut tidak dilakukannya pemindahan paksa dari tanah mereka. Hak-hak masyarakat adat, termasuk perempuan adat, atas pemberian persetujuan tanpa paksaan (free prior informed consent) yang harus dihormati dan dijunjung tinggi dan tidak dimanipulasi. Bagi perempuan terutama, tuntutan resolusi atas posisi perempuan sebagai kepala keluarga sepatutnya dihargai dan diperlakukan serupa dengan perlakuan terhadap rumah tangga yang dikepalai oleh laki-laki dalam pengambilan keputusan dan kompensasi. Resolusi juga menuntut perusahaan untuk menyadari bahwa HIV/AIDS bukanlah penyakit masyarakat adat dan mereka harus menyediakan program preventif dan penyuluhan kepada karyawan begitu juga untuk perempuan dan komunitas adat.
Resolusi tentang perempuan dan komunitas lokal menuntut pemerintah dan perusahaan pertambangan menghargai keinginan masyarakat untuk moratorium pembangunan pertambangan baru dan perluasan tambang. Resolusi ini juga menuntut pengakuan bahwa 'komunitas lokal' tidak terbatas pada mereka yang tinggal di kawasan konsesi pertambangan atau area yang disewa, tetapi juga termasuk penduduk yang terkena dampak operasi tambang, mereka yang tinggal di hilir dan diluar batas wilayah pertambangan.
Pemerintah dan industri pertambangan harus memastikan bahwa seluruh proyek peka gender dan menjamin partisipasi aktif dalam pembuatan keputusan dari perempuan lokal yang terkena dampak proyek pertambangan. Mereka harus mendapat izin dari perempuan pemilik lahan dan perempuan adat setempat untuk setiap eksplorasi dan aktifitas pertambangan, dan harus menerima saran perempuan lokal tentang cara-cara yang tepat untuk memastikan bahwa pandangan mereka didengar dan hak-hak mereka tidak dilanggar selama kegiatan pertambangan.
Resolusi tentang perempuan pekerja tambang menyatakan bahwa sektor pertambangan resmi berskala besar mempunyai tingkat keterlibatan perempuan yang rendah yang disebabkan oleh lokasi kerja dan jam kerja yang mengabaikan kepentingan keluarga, perilaku diskriminatif, kondisi kerja dan upah yang tidak adil. Sebaliknya, sektor informal menyerap lebih banyak tenaga kerja perempuan yang menjadikan sektor pertambangan sebagai sandaran hidup mereka. Resolusi ini menuntut adanya hukum ketenagakerjaan yang melindungi tenaga kerja dan hukum keselamatan dan kesehatan kerja yang memadai, serta kesempatan untuk berpartisipasi penuh dalam komite penyelidikan dan pengawasan kondisi keselamatan kerja dan kesempatan yang maksimal bagi karyawan, tidak hanya dalam pekerjaan tradisional yang dijatahkan untuk perempuan.
Resolusi tentang pertambangan, kesehatan, dan lingkungan menuntut prinsip-prinsip pencegahan dalam semua operasi pertambangan, dengan mengingat dampak kesehatan dan lingkungan yang mengganggu keseimbangan. Termasuk didalamnya adalah melarang praktik-praktik yang merusak seperti mengalirkan limbah tailingke sungai, membuang ke dasar laut, dan penambangan bahan sulfida yang menyebabkan air asam tambang (acid mine drainage).
Resolusi tentang konflik, hak asasi manusia dan perempuan mendapati bahwa kebijakan pertambangan, hukum dan peraturan yang ada tidak berperspektif gender dan tidak peka terhadap hak-hak perempuan. Hal itu mencakup tuntutan kepada perusahaan pertambangan supaya jangan beroperasi di kawasan dimana mereka memerlukan penggunaan kekuatan militer, tentara bayaran, paramiliter, polisi, atau petugas keamanan yang bertindak berlebihan untuk menjaga operasi mereka karena situasi tersebut menyebabkan pelanggaran Hak asasi manusia, khususnya terhadap perempuan dan anak-anak.
(Sumber: Resolution of III International Women and Mining Conference. Untuk deklarasi konferensi, pernyataan dan makalah lihat www.mmpindia.org/womenmining.htm)
Perempuan adat - kelengkapan untuk advokasiSebuah ornop yang berbasis di Inggris Raya, Forest Peoples Programme (FPP), telah menerbitkan sebuah panduan bagi perempuan adat untuk memanfaatkan CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan) untuk memprotes pelanggaran atas hak-hak mereka. CEDAW merupakan salah satu dari enam perangkat HAM internasional dan satu-satunya yang secara khusus berfokus pada penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Konvensi ini bersifat mengikat bagi negara yang telah meratifikasi (termasuk Indonesia). Sebuah komite dibentuk untuk mengawasi pelaksanaannya dan pemenuhan kesepakatan dari negara terhadap CEDAW. Prosedur pemenuhannya baru-baru ini telah ditetapkan sehingga memungkinkan perempuan untuk mengajukan keluhan atas pelanggaran hak-hak mereka.Buku Panduan FPP memaparkan informasi tentang CEDAW dan Komite dan memberi panduan bagaimana menggunakan prosedur yang ditawarkan. Tujuannya adalah untuk memberi perempuan adat pemahaman yang lebih baik tentang konvensi dan memberi mereka dukungan dalam melakukan prosedur internasional untuk memperoleh ganti rugi. Lebih jauh lagi, tujuannya adalah untuk memacu negara mereformasi hukum negara dan prosedur pengadilannya sehingga perempuan memperoleh perlindungan yang efektif dan berarti atas hak-hak perempuan adat. A Guide to Indigenous Women's Rights under the International Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women, Ellen-Rose Kambel, FPP 2004. 73 halaman, GBP 5.00. Hubungi FPP, 1c Fosseway Business Centre, Stratford Road, Moreton in Marsh, GL56 9NQ, UK, info@forestpeoples.org ; www.forestpeoples.org/ |