- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Publikasi
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
Pabrik pulp di Kalimantan Selatan diteruskan terlepas aksi protes
Down to Earth Nr 56 Februari 2003
Para pegiat Indonesia dan Belanda berhasil membujuk Akzo Nobel untuk membatalkan rencananya menanam modal di sebuah pabrik pulp yang baru di Kalimantan Selatan pada bulan Januari, tiga bulan setelah Departemen Kehutanan Indonesia menarik ijin perkebunan pemasok. Namun kemudian sebuah perusahaan negara milik Cina masuk dengan perjanjian untuk mendanai 80% biaya.
Akzo Nobel menanda-tangani sebuah perjanjian dengan perusahaan konstruksi Singapura Poh Lian pada tahun 2001 untuk membangun pabrik yang akan menghasilkan unsur pemutih untuk proses pulp. Friends of the Earth dari Belanda (Milieudefensie) sudah berkampanye sejak tahun 2001 agar perusahaan Belanda ini, yang merupakan anak perusahaan kimia Swedia, Eka, mundur. Langkah ini merupakan bagian dari aksi internasional Friends of the Earth dalam menghadapi perusahaan-perusahaan yang tidak memperdulikan lingkungan di luar negeri secara serius. Para pegiat lingkungan meningkatkan aksi tekanan mereka tahun lalu. Pada tanggal 2 Desember, para karyawan yang masuk ke kantor pusat Akzo Nobel di Arnhem harus melewati suara gergaji listrik dan 'layar hutan' para pegiat. Hari itu juga Milieudefensie mengeluarkan pernyataan tentang keterlibatan Akzo Nobel dalam rencana pabrik pulp.
Laporan ini berjudul Paper from Forest Giants atau Laporan dari Raksasa Hutan, mendukung usulan Walhi untuk melaksanakan moratorium atas industri penebangan hutan sebagai langkah pertama reformasi kehutanan di Indonesia. Perwakilan LSM lingkungan WALHI di Kalimantan Selatan dan kelompok masyarakat dibawah naungan 'Aliansi Meratus' menolak rencana pabrik pulp dengan alasan bahwa pabrik serupa di tempat lain di Indonesia mengakibatkan polusi lingkungan dan kesengsaraan sosial. Dalam pernyataan pers November, sebanyak 27 kelompok lingkungan dan kelompok kampanye pertambangan menuntut agar pemerintah Indonesia segera melaksanakan moratorium terhadap seluruh kegiatan kehutanan dan pertambangan di hutan Kalimantan Selatan.
Pabrik kimia Akzo Nobel mewakili sekitar 8% dari total investasi pabrik pulp. Kedua pabrik menggunakan sumber air dan fasilitas air buangan yang sama untuk menghemat biaya. Anak perusahaan Perancis di Asia, Vivendi Water telah menandatangani pembangunannya. Air untuk operasi pabrik tersebut akan diambil dari sungai Satui dan limbahnya akan dibuang ke dalamnya. Perusahaan Swedia IPK telah melakukan analisa dampak lingkungan tapi belum mengeluarkan kerangka rujukannya maupun hasilnya. Belum ada analisa dampak lingkungan yang dilakukan secara independen atas proyek pulp ini.
Keterlibatan Skandinavia
Mundurnya Akzo Nobel merupakan kejutan besar kedua untuk proyek pabrik pulp yang kontroversial ini. Pada tanggal 2 November 2002, saham United Fiber turun 78%. Menteri Kehutanan Indonesia, Mohammad Prakosa, membatalkan ijin perkebunan pasokan pada akhir Oktober dan meminta pembayaran kembali pinjaman reboisasi yang mencapai Rp100 milyar (kurang lebih 10 juta dollar Amerika). PT Menara Hutan Buana (MHB) merupakan salah satu dari 15 Hutan Tanaman Industri (HTI) yang ijinnya dicabut karena perusahaan hanya menanam kembali sebagian kecil dari daerah yang dialokasikan ke mereka , walau sudah mendapat pinjaman dari pemerintah. MHB and PT Marga Buana Bumi Mulia (MBBM --perusahaan yang didirikan untuk pabrik pulp) dimiliki oleh abang tiri bekas presiden Soeharto. Probosutedjo dituduh memanipulasi dana reboisasi untuk membangun perkebunan.
Rencana awal adalah MHB menjual kayunya ke MBBM untuk memproduksi pulp yang akan dijual ke perusahaan pemasaran kertas Swedia Cellmark. Perusahaan Indonesia tersebut mengalami restrukturisasi sehubungan dengan ambruknya bank milik Probosutedjo tahun 1998 dan Januari 2002, status MHB berubah menjadi perusahaan asing. Poh Lian, yang mengambil alih MHB dan MBBM, juga diambil alih oleh investor Finlandia, Swedia, dan Indonesia pada bulan April 2002 yang persetujuannya memakan waktu dua tahun. Perusahaan investasi luar negeri yang berpusat di Pulau Virgin, Inggris, kemungkinan juga terlibat. Perusahaan baru, bernama United Fiber System Ltd, otomatis memiliki konsesi ijin perkebunan dan pabrik pulp Kalimantan Selatan. Perusahaan ini menentang keputusan menteri Kehutanan melalui pengadilan.
Perusahaan Skandinavia terlibat banyak dalam proyek pulp –seperti juga dalam proyek lainnya di Indonesia. Tektroniks, anak perusahaan Cellmark, adalah partner utama dalam United Fiber System. Menurut laporan surat kabar, United Fiber dipimpin oleh Anders Lindman, orang Finlandia yang pernah bekerja untuk Cellmark. Svante Nyfors, juga dari Finlandia, pernah menjadi pejabat senior pabrik kertas dan pulp Indah Kiat di Riau pada tahun 1990an, terpilih menjadi Presiden Direktur MHB 'baru'. Perusahaan Swedia AF-Industrins Processkonsult melakukan studi awal untuk meyakinkan pemodal internasional bahwa pabrik pulp yang akan dibangun sesuai dengan standar internasional untuk emisi yang mengandung polusi. Konsultan Kehutanan Internasional dari Finlandia Jaakko Poyry menjalankan evaluasi proyek yang menyokong investasi tersebut. Sebagian besar dari peralatan kemungkinan berasal dari Skandinavia.
Dorongan dari Cina
Rencana pabrik pulp dipercepat oleh kontrak yang ditandatangani antara United Fiber dan perusahaan negara Cina pada pertengahan Desember. China National Machinery & Equipment Import & Export Corporation (CMEC) akan mendanai 80% dari biaya konstruksi pabrik. Persetujuan baru ini – bernilai 780-863 juta dollar Amerika (tergantung sumbernya) - dapat mempengaruhi hasil tuntutan di pengadilan United Fiber terhadap pemerintah atas konsesi perkebunan. Indonesia ingin meningkatkan ikatan ekonomi dengan Cina sebagai alat untuk mengatasi masalah ekonominya. Cina menjadi semakin penting untuk pasar perkayuan (resmi atau gelap) dan sektor kertas pulp.
Di tingkat propinsi, Gubernur Kalimantan Selatan Sjachriel Dahman bertekad agar proyek ini berjalan. Ia menginginkan Menteri kehutanan Prakosa mengijinkan PT Hutan Rindang Banua untuk mensuplai pabrik pulp. Ini adalah nama baru yang diberikan pada MHB setelah reorganisasi.
Melumat Hutan
Konsesi perkebunan MHB seluas 268.000 hektar terdiri dari 5 blok utama di beberapa tempat yang berbeda di kawasan propinsi: Kintap, Riam Kiwa, Sebamban, Teluk Kepayang and Pamukan. Pabrik itu sendiri akan menempati tanah kira-kira seluas 340 hektar di Sakupung Balaut, di daerah Sebamban. Sebagian besar dari konsesi dikatakan merupakan tanah rumput atau ilalang, namun ketika survei dilakukan tahun 2001, masih banyak terdapat kawasan penting hutan alam. Blok Pamukan terdiri dari 20.000 hektar hutan– sebagian memiliki nilai keragaman hayati yang tinggi. Semua hutan yang tersisa dari konsesi, keseluruhannya mencapai hampir 50.000 hektar, akan segera ditebang bersih dan diganti dengan jenis tanaman yang cepat tumbuh – terutama acacia (A. mangium) yang bukan tanaman asli Kalimantan. MHB menuntut lewat pengadilan untuk dapat mengubah keputusan menteri kehutanan. Pengadilan Jakarta menunda pembatalan ijin pembangunan pabrik pada bulan November, sampai kasus United Fiber selesai.
Tuntutan yang dilakukan oleh perusahaan dan pemerintah daerah agar perusahaan pulp mendapat suplai dari perkebunan di Kalimantan kini tampak semakin tipis. Kelompok pencinta lingkungan dan kelompok masyarakat kuatir bahwa proyek ini akan meningkatkan penebangan kayu gelap di Kalimantan Selatan. Pabrik pulp ini akan membutuhkan 2,8 juta meter kubik tanaman kayu per tahun untuk memenuhi kapasitas produksi per tahunnya yang mencapai 600.000 ton. Untuk tahun-tahun pertama paling tidak, pabrik baru ini harus melumat hutan alam kecuali ia dapat membeli bubur kayu dari perkebunan lain. Menteri Kehutanan Prakosa menolak untuk mengeluarkan ijin HTI baru sejak Mei lalu.
Mengurangi kapasitas yantg berlebihan dari industri pulp Indonesia adalah salah satu langkah utama penting untuk melindungi hutan Indonesia yang sudah disetujui oleh Jakarta dan kreditur Internasional yang termasuk dalam CGI.
Hampir tidak diragukan lagi bahwa pabrik pulp meningkatkan tekanan pada hutan Indonesia yang sangat cepat berkurang. Periset CIFOR Chris Barr memperkirakan tinggal 10% dari kayu yang digunakan 6 pabrik pulp Indonesia yang masih aktif berasal dari perkebunan; 90% berasal dari hutan alam (yang juga dinamakan kayu keras tropis campuran (MTH). Pabrik pulp di Sumatra terus menggunakan kayu hutan walau perkebunan mereka sudah siap tebang, mereka menyimpannya untuk saat-saat ketika sumber murah dari penebangan hutan sudah habis.
(Sumber: AFX 13/Mar/02; Reuters 22/Apr/02, 13/Nov/02; email C. Barr May 2002; WALHI Kalsel 15/May/02; Republika 12/Nov/02; Jakarta Post 12/Nov/02; Radar Banjarmasin 13/Nov/02, 20/Dec/02; AFX-Asia 15/Nov/02; miningindo.com 19/Nov/02; Business Times 25/Dec/02; Friends of the Earth-NL press release 8/Jan/03)
Ringkasan berbahasa Inggris dari laporan Paper from Forest Giants - Akzo Nobel's plans in Indonesia tersedia di situs FoE-NL's di www.milieudefensie.nl. Laporan lengkap hanya ada dalam bahasa Belanda.
Pabrik Kalakaban Pabrik Kalakaban, di daerah Tanah Laut, akan menjadi pabrik pulp kertas pertama di Kalimantan Selatan (lihat DTE 48). Pabrik ini akan memproduksi 600.000 ton bubur kayu keras yang telah digelantang pertahun . Pembangunan secara resmi dimulai bulan Februari 2002 dengan lambang satu cangkulan tanah, tapi berhenti disitu karena kekurangan dana. Sekarang konstruksi direncanakan akan dimulai lagi awal Maret dan diperkirakan akan memakan waktu 36 bulan, walau produksi percobaan mungkin akan dimulai lebih awal. Selama dua tahun terakhir, investor dari Cina, Finlandia, Jerman, Jepang Belanda, Singapura, Swedia dan Amerika dilaporkan tergabung dalam konsorsium untuk membangun pabrik senilai US$1,2 milyar dollar Amerika. Bubur kertasnya sendiri, senilai sekitar US$300 juta dollar Amerika per tahun, sepenuhnya akan di ekspor. Pemerintah daerah secara antusias mendukung proyek ini dengan harapan akan meningkatkan pendapatan daerah, memberikan lapangan kerja untuk 1500 pekerja, dan menarik industri lain ke propinsi ini. |