- Beranda
- Tentang Kami
- Kampanye
- Kawasan
- Tema
- Bahan bakar nabati
- Keadilan iklim
- Masyarakat pesisir dan perikanan
- Bencana
- Ekonomi & Hutang
- Energi
- Penamanan modal asing
- Hutan dan kebakaran hutan
- Hak asasi manusia
- Masyarakat Adat
- Lembaga Keuangan Internasional
- Tanah dan ketahanan pangan
- Hukum
- Pertambangan, minyak & gas
- Perkebunan skala besar
- Politik & demokrasi
- REDD
- Otonomi daerah
- Transmigrasi
- Perairan dan waduk
- Perempuan
- Publikasi
- Link
- Kontak
Kategori terkait
Artikel terkait
Buletin DTE
Berlangganan buletin DTE
'Penebangan kayu ilegal' - pendefinisian legalitas, merendahkan hak
Down to Earth Nr 62 Agustus 2004
Upaya-upaya untuk menjamin perlindungan bagi komunitas lokal di bawah standar perdagangan kayu yang baru mungkin terganggu karena adanya surat keputusan darurat tentang penebangan kayu ilegal.
Pada tahun 2002 pemerintah Indonesia dan Inggris menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) untuk memerangi masalah penebangan dan perdagangan kayu ilegal. Dua tahun kemudian, setelah melalui proses konsultasi yang panjang, tersendat-sendat dan tidak teratur, kedua pemerintah tersebut hampir mencapai kesepakatan mengenai arti 'legal' dan 'ilegal'.
Setelah dilobi oleh organisasi-organisasi masyarakat madani, Departemen Pembangunan Internasional (DFID) atau badan bantuan luar negeri Inggris menyimpulkan bahwa mereka perlu menguraikan secara rinci apa arti 'legal' dan 'ilegal' dalam konteks hukum Indonesia, yang membingungkan dan kontradiktif. Organisasi-organisasi masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN atau Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, yang didukung oleh banyak Ornop, meminta supaya definisi legalitas mensyaratkan suatu pemikiran kembali yang radikal. Menurut AMAN, definisi sempit yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia tidak mengakui adanya hak-hak masyarakat adat, karena hak-hak adat mereka tidak cukup dikenal dalam hukum kehutanan dan hukum lain. Masyarakat adat di Indonesia telah lama meminta perbaikan hak-hak mereka untuk mengontrol tanah dan sumberdaya alam di tanah adat mereka. Definisi mereka sendiri tentang 'ilegal' meliputi hampir semua operasi penebangan kayu yang dianggap 'legal' oleh pemerintah. Hal ini terjadi karena pada sebagian besar kasus masyarakat adat tidak pernah memberikan persetujuan mereka atas penebangan kayu besar-besaran di hutan mereka.
Pemerintah Indonesia telah menolak untuk mempertimbangkan perubahan posisi. Mereka bersikeras bahwa setiap pembahasan mengenai penggunaan dan hak hutan berada di dalam kerangka kerja Undang-undang Kehutanan tahun 1999. Namun pemerintah semakin khawatir karena penolakan pembeli internasional terhadap kayu dari Indonesia semakin lama semakin meningkat, karena adanya protes dan aksi langsung oleh kelompok-kelompok kampanye lingkungan di Eropa dan AS. Jadi tahun lalu diadakan dua pertemuan regional pemangku kepentingan/ multi-stakeholder (di Pelalawan, Riau dan Berau, Kalimantan Timur), diikuti oleh sebuah lokakarya nasional untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan kayu `legal'. Para pejabat Departemen Kehutanan mengendalikan proses konsultasi dan penyusunan naskah ini dengan ketat.
Hasilnya adalah sebuah konsep 'Standar Legalitas' yang diumumkan secara publik pada bulan Mei 2004 (lihat di bawah). Standar tersebut bertujuan untuk "mempermudah pembeli dalam membedakan produk kayu legal dan ilegal yang diproduksi oleh Indonesia". Tujuan penyusunan standar tersebut adalah untuk mempromosikan perdagangan kayu legal dan mencegah perdagangan kayu ilegal. Standar tersebut terdiri dari tujuh prinsip legalitas yang luas, diikuti kriteria dan indikator serta pedoman untuk membantu para pengaudit (auditor) dalam menguji kepatuhan terhadap masing-masing indikator.
Namun seperti semua prinsip, kriteria dan indikator tersebut secara khusus ditujukan pada HPH, sementara status legalitas kayu yang berasal dari hutan rakyat/hutan adat tetap tidak terpecahkan, di mana hal ini juga perlu untuk mengakses pasar kayu.
Pengujian lapangan di Kalimantan
Standar Legalitas akan diuji dilapangan pada bulan Juli oleh organisasi konservasi yang berbasis di AS, The Nature Conservancy, di perusahaan pemilik HPH PT Sumalindo, Kalimantan Timur di mana SGS/URS akan melakukan verifikasi legal. Kemudian penaksiran independen terhadap aspek-aspek sosial dari uji contoh ini akan dilakukan oleh Dr. Marcus Colchester, direktur sebuah LSM yang berbasis di Inggris, yakni Forest Peoples Programme, sepanjang bulan Agustus dan September. Hasilnya kemudian akan didiskusikan dalam sebuah lokakarya nasional yang melibatkan Ornop dan pihak-pihak lain yang tertarik.
Sebuah isu yang muncul dalam diskusi di antara TNC, Organisasi Masyarakat Sipil beserta tim MoU adalah tentang keterlibatan Organisasi-organisasi Masyarakat Sipil dalam proses pelaksanaan Rencana Aksi MoU sebagai pemantau independen.
Penggunaan bahasa tentang adat
AMAN beserta sejumlah Organisasi-organisasi Masyarakat Sipil Indonesia telah terlibat dalam diskusi-diskusi tentang masalah legalitas, tetapi umumnya secara ad hoc dan informal. Input mereka telah menjamin bahwa beberapa susunan kata tentang hak-hak adat dan prinsip persetujuan tanpa paksaan (free prior informed consent = fpic), telah dimasukkan dalam konsep kriteria dan indikator.
Misalnya dalam Prinsip 1, tentang hak-hak penguasaan tanah. Kriteria 1.2.1. menyatakan bahwa sebuah perusahaan harus memegang HPH, HPHTI dan IUPHHK "yang telah disetujui oleh Departemen Kehutanan dan hanya dikeluarkan setelah ada persetujuan tanpa paksaan (fpic) dari semua komunitas yang akan terkena dampak".
Dalam Prinsip 3, tentang hubungan masyarakat dan hak buruh. Kriteria 3.1. menyatakan bahwa perusahaan tersebut "telah mengidentifikasikan semua komunitas yang terkena dampak oleh kegiatan mereka dalam Unit Manajemen Hutan, dan mendapatkan persetujuan mereka tanpa paksaan (fpic) untuk menjalankan kegiatan tersebut". Kriteria 3.2. menyatakan bahwa perusahaan tersebut "telah mengidentifikasikan dan mendokumentasikan hak tradisional dari komunitas yang terkena dampak dari kegiatan mereka dalam Unit Manajemen Hutan, dan bisa menunjukkan bahwa perusahaan tersebut menghormati hak-hak tersebut".
Kita perlu menyambut penggunaan bahasa memberikan harapan akan adanya sejumlah perlindungan bagi komunitas adat dan komunitas lokal di daerah hutan, dan menawarkan prospek yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan pemerintah Indonesia dalam BRIK (lihat DTE 60). Meskipun demikian organisasi masyarakat sipil tetap sangat peduli bahwa rancangan standar itu masih belum cukup melindungi hak-hak masyarakat adat terhadap tanah dan sumberdaya alam. Bagaimanapun juga, standar tersebut ditujukan untuk mendorong perdagangan kayu, bukannya melindungi hutan-hutan Indonesia yang semakin berkurang atau mendukung hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal. Organisasi-organisasi Masyarakat Sipil menyatakan bahwa perubahan besar terhadap hukum dan kebijakan Indonesia diperlukan untuk menyikapi akar permasalahan, bukan hanya gejala adanya krisis penebangan hutan.
Prinsip-prinsip Legalitas bagi Operasi Kehutanan dan Kayu "Kayu disebut legal bila keabsahan tentang asalnya, izin penebangan, sistem dan prosedur penebangan, dokumentasi pengangkutan dan administrasi, proses, dan perdagangan atau pengangkutannya telah teruji memenuhi semua persyaratan legalnya. [1]" Prinsip 1. Hak penguasaan dan penggunaan tanah Prinsip 2. Dampak Fisik dan Lingkungan Sosial Prinsip 3. Hubungan Masyarakat dan Hak Buruh Prinsip 4. Peraturan dan Hukum Pemanenan Kayu Prinsip 5. Pajak Hutan Prinsip 6. Pengidentifikasian, Pengangkutan dan Pengiriman Kayu Prinsip 7. Pemrosesan Kayu dan fasilitas pemrosesan [1]Ringkasan akhir oleh partisipan dalam Konsultasi Para Pihak di Jakarta, Juni 2003 [2] "Unit Manajemen Hutan" mengacu pada daerah yang didefinisikan, di mana perusahaan tersebut menyatakan bahwa mereka memiliki hak untuk memanen kayu dan menjadi subyek evaluasi. [3] "Perusahaan" mengacu pada lembaga yang dibentuk secara legal yang memiliki otoritas untuk melakukan operasi hutan, transpor atau pemrosesan di bawah evaluasi. Konsep Standar Legalitas tersebut, termasuk prinsip-prinsip, kriteria, indikator dan pedomannya bisa diakses di www.illegal-logging.info/ |
Perpu Penebangan Pohon secara Ilegal
Hasil terbatas yang dicapai dalam dokumen konsep Standar Legalitas bisa kita lupakan apabila hukum darurat baru tentang penebangan ilegal diberlakukan.
Rencana penerbitan Perpu untuk mengatasi ilegal diumumkan oleh menteri kehutanan Prakosa pada bulan Maret tahun ini (lihat DTE 61). Konsep terakhir dari peraturan ini yang diedarkan pada bulan Juni, mencakup masalah penebangan, pengangkutan, penyimpanan, kepemilikan dan pendistribusian kayu ilegal. Peraturan tersebut memberikan sistem hukuman bagi orang (didefinisikan sebagai individu, kelompok atau perusahaan) yang terlibat dalam penebangan kayu ilegal. Termasuk di sini adalah hukuman mati atau hukuman seumur hidup kalau mendanai penebangan kayu ilegal; hukuman penjara 5-15 tahun untuk memesan, mendorong atau melakukan penebangan kayu ilegal dan denda Rp 10-100 milyar; serta 5-7 tahun penjara plus denda Rp 100-500 juta bagi pejabat yang mengabaikan kasus penebangan kayu ilegal.
Kritisnya bagi masyarakat adat, Perpu tersebut kembali pada definisi sempit tentang legalitas yang ada dalam undang-undang Kehutanan tahun 1999 (N0. 41). UU tersebut tidak memasukkan unsur 'menghormati hak-hak adat' dan 'persetujuan tanpa paksaan' (fpic), yang tercantum di dalam konsep Standar Legalitas. Klausula 50 (3) dari undang-undang tahun 1999 hanya menyatakan bahwa "semua orang dilarang menebang pohon atau memanen atau mengumpulkan hasil hutan di dalam hutan tanpa hak atau izin dari pejabat yang berwenang". Karena hak masyarakat adat di sekitar hutan sangat lemah di bawah hukum Indonesia yang berlaku, menurut undang-undang no. 41/1999, ini berarti bahwa anggota komunitas adat bisa diperlakukan sebagai kriminal di hutan adat mereka sendiri.
Sejumlah Ornop telah mengritik Perpu tersebut karena definisi sempitnya terhadap istilah legalitas. Tidak pernah ada konsultasi dengan kelompok-kelompok masyarakat madani tentang isinya. ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) mempertanyakan apakah peraturan tersebut, bila telah disetujui, akan memberikan dampak terhadap penebangan kayu ilegal, karena upaya lain untuk mengontrol kerusakan telah gagal. ICEL membantah bahwa kedua alasan utama penerapan undang-undang tersebut gagal adalah karena kurangnya investasi dalam pelaksanaan undang-undang dan "kurangnya integritas" pada otoritas lokal, polisi dan pengadilan. Pada tahun 2001, dari 1.031 kasus di mana seseorang tertangkap dalam operasi anti penebangan kayu ilegal, satu pun tidak ada yang muncul di pengadilan, kata ICEL. Pada tahun 2002, dari 971 kasus tidak ada yang menghasilkan hukuman, dan pada tahun 2003 hanya satu dari 15 kasus yang telah diajukan ke pengadilan.
ICEL mengusulkan bahwa yang diperlukan adalah "sistem pelaksanaan di bawah satu atap" di bawah Departemen Kehutanan di Jakarta. Mereka menyatakan bahwa Perpu dibenarkan karena tingkat penebangan hutan terlalu tinggi, dan dampak sosial dan lingkungan sangat serius sehingga situasinya menjadi "darurat….. yang memerlukan tindakan segera" atau "kejahatan luar biasa" seperti disebutkan dalam UUD. Namun mereka mendesak pemerintah untuk menjaga adanya penyalahgunaan dana darurat. Mereka juga menghendaki peraturan tersebut dikuatkan dengan beberapa cara, termasuk dengan memperluas definisi tentang kriminalitas; hukuman legal; beban pembuktian; perlindungan saksi dan formulasi legal bagi tindakan terhadap perusahaan-perusahaan.
Saat berita berkala ini diterbitkan, diskusi-diskusi diantara Ornop Indonesia tentang manfaat dan bahaya Perpu sedang berlangsung. Peraturan tersebut masih dalam bentuk konsep, dan belum ditandatangani oleh Presiden. Kita lihat saja apakah peraturan tersebut akan diterbitkan dalam periode transisi presiden dan dalam suasana ketidak-menentuan politik saat ini.
(Sumber: Standar Legalitas bagi Produk Kayu dari Indonesia, Konsep Nomor 1.0; 26/Mei/04; pernyataan pers ICEL 12/Mei/04; Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor _ Tahun 2004 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Penebangan Pohon di Dalam Hutan Secara Ilegal)
Ringkasan DTE tentang konsep Perpu.
The 2002 Indonesia - UK agreement (MoU).
Pernyataan Ornop dan DTE tentang hal ini.
FoE: Pemerintah Inggris tidak memenuhi janji tentang kayu Sementara para pejabat DFID bekerja untuk mendefinisikan tentang istilah legalitas di Indonesia, sejumlah Ornop telah mengritik reputasi pemerintah Inggris sendiri dalam masalah pembelian kayu. Pada bulan Mei, para pegiat dari Indonesia dan Papua New Guinea menyerang Pemerintah Inggris yang dianggap telah gagal untuk menepati janjinya dalam menangani pembelian kayu secara ilegal dan tidak berkelanjutan. Surat-surat disampaikan kepada Menteri Lingkungan Margaret Beckett yang menyoroti dampak buruk penebangan kayu terhadap komunitas lokal. Empat tahun lalu, pemerintah Inggris membuat komitmen untuk hanya membeli "kayu yang legal dan berkelanjutan". Kontrak-kontrak penggunaan kayu Pemerintah pusat Inggris adalah sebesar 15% dari penggunaan kayu di seluruh Inggris. Dalam sebuah pernyataan pers, Friends of the Earth England, Wales & Northern Ireland mengatakan bahwa sejak saat itu pemerintah telah "mengambil langkah minimal untuk melaksanakan janjinya ini dan tidak mengalokasikan dana yang signifikan". "Definisi kayu `legal dan berkelanjutan' bahkan belum ada, dan tidak ada dampak yang nyata pada pembelian kayu oleh Pemerintah Inggris". Tahun lalu Greenpeace mengungkapkan bahwa sumber kayu ilegal Indonesia mungkin telah digunakan dalam pembangunan gedung kantor baru pemerintah Inggris - Lihat DTE 58. (Pernyataan pers Foe, 21/Mei/04; Laporan Greenpeace 2003 tentang hubungan kayu Indonesia-Inggris, Mitra dalam Kejahatan bisa dilihat di www.saveordelete.com)
Indonesia dalam Skema sukarela Uni Eropa Uni Eropa telah membuat suatu skema untuk mendorong negara-negara penghasil kayu di Asia dan Afrika menjamin ekspor mereka dengan sertifikasi. Greenpeace yang menganggap bahwa skema itu terlalu lemah, telah meminta Uni Eropa untuk melarang impor kayu ilegal. Kelompok tersebut mengatakan bahwa Indonesia, Malaysia dan Ghana akan ambil bagian terlebih dahulu dalam skema tersebut. Greenpeace juga mengritik tentang adanya fakta bahwa satu-satunya produksi kayu yang diproses, yang dicakup oleh rencana perizinan adalah kayu lapis, sedangkan kertas, bubur kayu dan produk kayu lain tidak dimasukkan. Komisi Eropa telah mengatakan bahwa negara-negara yang ikut berpartisipasi akan menghadapi beban administratif yang berat, dan Komisi Eropa telah menyisihkan 30 juta Euro untuk membantu. (Reuters 20/Jul/04) |